Sebagai Bapak Marhaenisme, Bung Karno tidak menampik bahwa konsep Marxisme merupakan kajian filosofi ber-tata negara sebelum Proklamasi Indonesia. Marxisme tidak ditelan mentah-mentah, namun dijadikan pisau analisa kultur sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Marxisme yang tidak semata berdiri sendiri.
Analogi sederhananya pada sebuah buah mangga bernama Indonesia. Untuk menikmati cita rasa mangga, dibutuhkan ketajaman pisau analisa Marxisme untuk membuka lapisan kulit yang menutupinya. Setelah lapisan kulit luar terbuka, buah mangga dibersihkan lagi dengan teori ekonomi “Keunggulan Mutlak” Adam Smith. Bahwa keunggulan suatu bangsa tergantung tingkat kemandirian ekonominya. Mengolah SDA yang tidak dimiliki negara lain secara independen, meningkatkan keunggulan posisi tawar terhadap bangsa lain.
Tidak cukup sampai disitu -demi menemukan kesejatian Indonesia. Bung Karno mengupas lagi dengan filosofi analisa perubahan seorang Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Bahwa negara berproses dibangun dengan menggunakan prinsip tesis, antitesis dan sintesis. Bung Karno merangkumnya dengan istilah revolusi yang terus bergerak ke arah yang lebih baik pada jamannya.
Bung Karno meramu pemikiran filosofi tokoh tokoh pembaharuan dunia ke dalam satu analisa untuk melahirkan, membangun, dan melangkahkan Indonesia untuk masa jauh ke depan.
Ketiga teori analisa tokoh di atas tidak bisa berdiri sendiri dengan mengabaikan dialektika diantaranya. Jangan heran kalau oligarki, kolusi dan nepotisme tumbuh subur dari mereka yang hanya memegang teori Marxis. Bagaimana membentuk class defense dengan berbagai cara, strata sosial sendiri dipertahankan dalam ego kelompok.
Atau teori Adam Smith sebagai hukum ekonomi kapitalis ditelan mentah-mentah. Melahirkan penjajahan ekonomi yang semakin acak di era perdagangan bebas. Diperparah lagi dengan para penganut Hegelian yang ngotot ber-Revolusi, sebatas tesis dan antitesis namun lupa sintesis.
Republik ini benar kata penyanyi Franky Sahilatua dalam syair lagu Perahu Retak :
“tanah pertiwi anugerah illahi
jangan ambil sendiri, tanah pertiwi anugerah illahi jangan makan sendiri”
Jika itu terus terjadi bukan berarti anugerah Illahi akan habis terkuras, tetapi kita yang sibuk berebut makan saling baku hantam mengatas namakan perut atau kelompok sendiri. Bung Karno sudah merumuskan negara ini dengan benar. Kita yang sebagian masih salah memahami bangsa ini. Bahwa NKRI itu asset yang harus diolah, bukan komoditas yang laris manis diperdagangkan.
Penulis : Erlangga Bhumi