Demokrasi Elitis

banner iklan 468x60

Logika demokrasi kira-kira begini lho. Kita sebagai warga negara sepakat menyerahkan pengelolaan sebagian urusan kita sesama warga ke negara. Itulah yang disebut urusan publik. Sedangkan urusan privat yang bersifat individu kita urus sendiri. Kita menyerahkannya ke Negara, bukan ke pemerintah/penguasa.

Untuk menjalankan negara, dibutuhkanlah pemerintah yang wajib memikirkan bagaimana cara terbaik untuk mengelola urusan publik. Demi memikirkan cara terbaik itu, pemerintah perlu pemimpin. Agar pemimpin itu bisa memikirkan cara terbaik yang sesuai dengan kebutuhan warga, maka dilakukanlah pemilihan umum. Itu sebabnya pemilu itu didahului dengan kampanye. Di dalam kampanye itulah kandidat memberikan penjelasan tentang rencana kerjanya untuk memimpin pengelolaan urusan publik. Atas dasar itu, warga bisa memilih mana kandidat yang dianggapnya cocok untuk mengelola urusan publik yang dia serahkan pada negara.

Jadi yang pertama harus ada sebetulnya adalah urusan apa saja yang diharapkan warga untuk diurus dan dikelola dengan baik oleh negara. Bukan sebaliknya, kandidat pemimpin yang menjanjikan macam-macam. Kandidat itu ibaratnya cuma calon pegawai yang akan kita tugaskan mengelola kepentingan kita sebagai warga. Jadi dalam demokrasi tidak ada urusannya warga harus menyembah penguasa. Catat ya!?

“Kalau penguasa itu ternyata bekerja ngaco, warga berhak marah. Marah itu tidak lantas berarti memecat. Ada cara-cara lain yang bisa dilakukan. Demokrasi sudah pula mengatur mekanismenya. Semua itu tidak akan berjalan dengan baik apabila ternyata sebagian besar warga justru tidak sadar akan posisinya sebagai warga yang berhak menyerahkan sebagian urusan dan kepentingannya kepada negara. Jika dia tidak tahu, bahayanya adalah yang disebut urusan publik itu ternyata ditentukan berdasarkan kepentingan individu warga lainnya saja. Warga tidak sadar terjebak pada keterikatan publik atas kepentingan individu”.

“Kesadaran warganegara atas penjelasan di atas belum dimiliki oleh sebagian besar warga. Namun ada golongan masyarakat yang sudah sadar dan bergerak memikirkan itu. Dialah para aktivis sebagai golongan warga yang tercerahkan bertugas membangun kesadaran demos (masyarakat). Memperbaiki aspek sosial, membangun institusi yang baik, mendorong pemilu jurdil, birokrasi yang bersih, penegakan hukum dan lain sebagainya”

“Tapi yang tidak boleh tertinggal dari itu semua adalah membangun kesadaran kewargaan. Sebab, semua perbaikan institusional hanya akan bermanfaat jika dapat digunakan oleh demos (rakyat). Jika tidak, penikmat pembangunan demokrasi itu hanya para elit. Celakanya, itu pun hanya untuk mengurusi kepentingan publik versi elit”

“Kembali masalah demos yang menginginkan demokrasi terkait pemilihan pemimpin. Yang pertama-tama selalu diwacanakan adalah calon. Jika ingin Pemilu demokratis idealnya cari tahu maunya warga ketika menyerahkan urusan publik kepada negara seperti apa dan apa saja. Untuk itu, warga harus sadar dulu apa saja hak dan kewajibannya sebagai warga. Tanpa itu, sampai kapan pun demokrasi akan oligarkis sifatnya. Minimalnya elitis dan berjarak terhadap warga”

“Lembaga survey punya peran penting dalam menyimpulkan keinginan mayoritas warga. Hasil survey dijadikan rujukan kebutuhan pemimpin yang akan datang seperti apa sesuai keinginan masyarakat. Celakanya lembaga survey yang berjamur dan rajin door to door ke pintu-pintu rumah didominasi swasta. Lebih mirip sales obat yang menawarkan merk tertentu daripada mencari tahu masyarakat butuh “obat” apa. Jarang ada lembaga survey bekerja tanpa embel-embel jualan sosok. Survey yang pada niat baiknya menjadi sarana demokrasi berubah menjadi elitkrasi. Keinginan warga dipaksakan tersalur kepada calon pemimpin. Pencitraan karakter menjadi senjata paling mudah untuk sebuah kerja survey”

“Rakyat butuh calon pemimpin seperti si A yang merakyat, ingin yang jujur bersih seperti si B. Pada akhirnya survey hanya menyimpulkan karakter pemimpin, bukan keinginan substansi masyarakat semisal pendidikan gratis hingga perguruan tinggi, skema BBM murah, peningkatan layanan kesehatan, rumusan subsidi perumahan atau hal hal yang terkait ketimpangan kebijakan yang sedang terjadi. Seberapa seringnya survey berbasis elektabilitas sosok akan senantiasa menjadi alat penggiringan opini, bukan mengkoleksi opini kegelisahan masyarakat”

“Inilah penyakit demokrasi yang dikemas dengan elitis. Demos (rakyat)  kratos (kekuasaan) berubah menjadi Demon (setan) kratos (kekuasaan). Setan setan elit politik yang ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaan”

Dahono Prasetyo

banner 120x600

Tinggalkan Balasan