Multatuli, Anak Semua Bangsa

banner iklan 468x60

“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya” (John F. Kennedy)

Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dengan bukunya Max Havelaar menjadi karya sastra pertama yang meluruskan bengkoknya politik kolonialisme. Lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun. Menghabiskan sebagian besar usianya di Hindia Belanda (wilayah jajahan Belanda sebelum menjadi Indonesia).

Berasal dari keluarga elite yang ‘dibuang’, bertemu dengan kehidupan nyata di berbagai tempat. Gemar berjudi namun selalu memberontak pada atasannya. Menikah dengan Everdine van Wijnbergen, gadis keturunan bangsawan yang jatuh miskin pada bulan April 1846, namun digugat cerai pada bulan September 1859. Ketika istrinya mengajukan cerai. Saat itulah Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel. Dalam masa ‘isolasi’ 1 bulan di kamar itulah justru lahir sebuah buku yang diberi judul ‘Max Havelaar’.

Dari akumulasi kegagalan, kekecewaan, kesakitan batin seorang Eduard Douwes Dekker melahirkan karya ‘pemberontakan’ yang menyentak perhatian dunia kolonialisme. Menggunakan nama pena Multatuli, yang dalam bahasa Latin berarti “sudah banyak yang aku derita”. Eduard mampu menterjemahkan “penderitaan” lahir batinnya ke dalam maha karya sastra. Derita yang juga dialami setiap manusia saat berada dalam naungan penjajahan.

Penguasaan wilayah, sumber daya alam dan perdagangan yang selama ini dilakukan negara Eropa didefinisikan sebagai bentuk kolonialisme (penjajahan). Politik dagang yang bengkok diluruskan oleh argumentasi sastra Eduard Douwes Dekker. Pribumi yang disedot hasil buminya butuh dididik dengan ilmu pengetahuan sebagai konsekwensi balas budi penguasaan SDA.

Penjajahan menjadi kata sifat dengan pelakunya bisa siapa saja. Cara melawan penjajahan hanya bisa dilakukan dengan kekuatan intelektual bukan dengan adu senjata.  Bahwa yang kita tolak bukanlah keBelandaannya, keArabannya, keCinaanya atau keAmerikaannya. Tetapi sifat penjajahannya.

Multatuli dengan Max Havelaar-nya membuka mata manusia yang merasa terjajah untuk memberontak secara intelektual. Menjadi awal terbentuknya semangat pergerakan nasional dari para pribumi tertentu yang sebelumnya disekolahkan oleh penjajah. Mereka yang sebelumnya cukup duduk manis dengan ilmunya, kemudian sepakat bersatu memerdekakan tanah pribuminya sendiri.

Muncul pertanyaan, apa relevansinya dengan era saat ini? Masa dimana semuanya sudah terbuka serupa rumah kaca? Kita sedang terjajah, iya benar. Siapa penjajahnya? Bisa Amerika, China, Jepang, Belanda dan negara-negara maju lain atau justru dari bangsa kita sendiri.

Inilah nikmatnya dijajah pada era millenial. Para penjajah memanjakan kita dengan impian. Menyuapi gula gula agar kita lupa tentang kebebasan dan kemerdekaan. Sedikit protes segera disumpal materi, jika teriakan justru makin kencang buru buru diadu domba. Domba domba revolusi tak juga mati beradu, matikan semuanya.

Beruntunglah bagi yang masih merasa memiliki semangat melawan penjajahan. Menggantungkan kebebasan pada tulisan. Tulisan yang menginspirasi lahirnya tulisan-tulisan yang lain. Seorang penulis yang menginspirasi 100 penulis lain. 100 penulis yang selalu menginspirasi ribuan pembacanya.

“Minke, tahukah kau mengapa aku menyayangimu lebih dari apapun? Karena engkau menulis. Suaramu tak akan padam ditelan angin. Akan abadi sampai jauh. Jauh dikemudian hari. Dan mereka yang kolonial itu hanya punya persyaratan yang didasarkan atas tajam dan kuatnya senjata. Bukan pada ideologi” bisik Nyai Ontosoroh

(Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer)

Pramoedya menjadi salah satu “anak ideologis” Multatuli yang bisa kita temukan dalam karya-karya sastranya. Novel Tetraloginya yang terdiri dari 4 buku : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca ditulis pada 14 tahun masa pembuangannya di Pulau Buru yang tanpa pengadilan. Rezim memenjarakan raganya, namun tidak dengan jiwanya.

Sebegitu dahsyatnya tulisan Pramoedya hingga mampu merubah ideologi pembacanya menjadi pemberontakan pada kolonialis dan segala manifestasinya. Pemegang rekor 6 kali nominator penerima hadiah Nobel untuk kategori Sastra, namun selalu gagal karena pertimbangan penerjemahan ke bahasa Inggris yang buruk membuat kualitas kesusastraannya merosot.

Eduard Douwes Dekker dan Pramoedya Ananta Toer yang kontra kolonialisme, akan tetap abadi tanpa Nobel. Merekalah “Anak-anak semua bangsa” yang sesungguhnya.

 

Penulis : Dahono Prasetyo

banner 120x600

Tinggalkan Balasan