Berita tidak lolosnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan beberapa waktu lalu menunjukkan realita kualitas penegak hukum secara individu dalam rangka memahami bangsa dan negaranya. Ini bukan sekedar hafal Lagu Kebangsaan atau Pancasila, tapi mendalami seberapa jauh seseorang berpotensi tidak setia kepada bangsa dan negaranya.
Rasa nasionalis menjadi penting pada beberapa tahun belakangan, saat gempuran ideologi khilafah gencar merusak tatanan definisi negara. NKRI menghadapi keinginan sekelompok berhasrat mendirikan negara Islam yang sudah pasti berlawanan dengan dasar negara dan kemajemukan.
Bagaimana mungkin 75 orang pegawai KPK bisa dipercaya membela negara melalui institusi hukum, kalau dengan negara saja tidak setia? Analogi sederhana itu menjadi ukuran loyalitas individu dalam melaksanakan tugas mengemban jabatan. KPK adalah institusi negara, menindak korupsi mewakili pandangan hukum negara, bukan identitas agama.
75 orang itu baru sebatas di lingkungan KPK. Ada hal yang lebih penting lagi uji wawasan kebangsaan diterapkan, yaitu di lingkungan pendidikan. Guru dan pengajar yang menjadi ujung tombak proses lahirnya generasi baru melalui jenjang pendidikan.
Urusan wawasan kebangsaan yang sejatinya dimulai di ranah pelajaran pendidikan dasar hingga menengah, butuh tenaga pengajar dengan syarat mutlak setia kepada negara. Guru bertugas “menanamkan” suatu pandangan ilmu sekaligus budi pekerti. Tidak sekedar menyampaikan kurikulum.
Analoginya sebaik apapun sistem pendidikan dan kurikulum, ketika tenaga pengajar dalam kondisi rendah wawasan kebangsaannya, akan otomatis menular kepada murid-muridnya. Teori komunikasi verbal menyatakan, dalam 1 kelas berisi 30 murid dibimbing seorang guru yang terpapah ideologi khilafah, bisa dipastikan minimal 10 orang muridnya akan berpandangan sama dengan gurunya. 20 orang lagi fifty-fifty antara ter-infiltrasi atau tidak, tergantung antisipasi lingkungan keluarganya.
Coba sekali waktu pemerintah mengadakan test wawasan kebangsaan kepada para guru pengajar aktif baik negeri maupun swasta. Lihat hasil screening yang terjadi, dan bersiaplah terperangah.
Sebagai referensinya, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2018/2019, jumlah sekolah dari jenjang SD sampai Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB) di Indonesia mencapai 307.655 sekolah. Terdiri atas 169.378 sekolah negeri dan 138.277 sekolah swasta. Lebih detil lagi jumlah SD 148.244 sekolah negeri dan swasta. SMP berjumlah 38.960, SMA 13.495 dan SMK 13.710.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah baru memaksimalkan menyediakan jenjang pendidikan dasar (SD). Masa belajar SD menjadi usia paling rentan ter-infiltrasi cara pandang pemahaman budi pekerti. Peranan guru SD sangat dominan “mengisi” otak para siswa dengan asupan bimbingan, nasihat hingga doktrin.
Bisa dibayangkan jika seorang oknum guru SD yang tidak setia kepada bangsanya, disampaikan kepada murid yang masih dalam usia kepatuhan yang kuat. Modal ketidak cintaan pada bangsanya yang ditanamkan terbawa hingga pendidikan selanjutnya. Kalaupun kemudian putus sekolah maka akan nempel hingga dewasa.
Jika seorang anak usia SD sudah punya referensi tentang khilafah, negara Islam dan kaum kafir, bisa dipastikan didapat dari guru pengajarnya. Bukan dan buku, tutorial, TV atau pengajian-pengajian. Doktrin seorang guru lebih tertanam di benak siswa dibandingkan orang tuanya. Sekolah menjadi ruang komunal dari berbagai keluarga. Penyeragaman cara pandang siswa menjadi tugas guru.
Sistem pembelajaran online sedikit banyak berperan memutus komunikasi verbal yang bermuatan negatif. Meskipun sarana menjadi kendala tehnis yang butuh segera diatasi, namun keganjilan materi pembelajaran akan lebih cepat terantisipasi di ruang digital.
Ken Setiawan, seorang pakar rekrutmen kader paham negara Islam yang sudah insyaf memberikan kesaksiannya dalam sebuah wawancara. Di seputar Jawa Barat sudah ada sekitar 250 ribu orang yang siap memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia. Celakanya lagi mereka semua militan yang tunduk apapun perintah Amir-nya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur jumlahnya tidak lebih banyak dari Jawa Barat, tetapi yang pasti di atas 100 ribu.
Cara merekrut Ken Setyawan sangat sederhana, cukup merekrut oknum yang berprofesi sebagai guru, kemudian mempersilahkan mereka bekerja di ruang-ruang kelas belajar. Hasilnya, untuk mendapatkan generasi kader intoleransi lulusan SMU sangat mudah serupa MLM
Test wawasan kebangsaan bagi guru pengajar baik negeri maupun swasta menjadi kemutlakan. Sistem pengawasan yang dibuat dalam rangka antisipasi, bukan sekedar kekhawatiran pada dugaan. Musuh ideologi sudah di depan mata, pilihannya hanya tinggal melawan bukan bertahan.
Melawanlah dengan sistem bukan dengan menangkapi satu persatu pengusung khilafah
Penulis : Dahono Prasetyo