Pada makna harfiah, momentum Proklamasi 17 Agustus 1945 hanya sekedar menjadi jembatan emas. Dari area bangsa terjajah menuju sisi bangsa merdeka. Di bawah jembatan emas terbentang jurang perbedaan geopolitik, Agama, budaya, politik hingga kepentingan ekonomi.
Namun berada di sisi merdeka saja tidaklah cukup, negeri ini butuh berdaulat .
Berawal dari abad ke 15 saat arus ekspansi Eropa ke Khatulistiwa bukan sekedar perdagangan rempah-rempah biasa. Kejayaan super powernya Majapahit dan Sriwijaya membuat mereka bernafsu menguasai daerah pertemuan sirkum Pasifik dan Mediterania yang kaya Sumber Daya Alam masa depan.
Disinilah kemajuan sains dan tehnologi mereka bertemu dengan tanah, air, musim dan keramahan penghuninya. Peradaban mereka bertemu simpul ideal habitat manusia dan alam namun rentan dalam hal ikatan persatuan. Penjajahan ekonomi denganpolitik adu domba berhasil mengubur dominasi kejayaan Kerajaan-kerajaan besar hanya dengan sekali tepuk. Nusantara dijadikan ladang, tatanan sosial dinisbikan menjadi negara jajahan yang rakyatnya dibuat tidak tahu harus berbuat apa untuk merdeka.
Hingga Sumpah Pemuda 1928 menjadi titik balik kesadaran kaum pribumi untuk berpikir tentang persatuan. 17 Tahun kemudian Soekarno berhasil merumuskan bagaimana negara dibentuk dengan segala kelengkapan dan filosofinya. Ratusan Founding Father yang sepakat bersatu dan merdeka bukan berarti tanpa perbedaan. Soekarno menganyam perbedaan dengan Nasionalismenya.
Bahkan untuk atu kalimat Proklamasi, mereka berdebat panjang sambil diburu waktu. 17-8-1945 bukan angka mistik. Itulah hari dimana kekuatan besar kolonialisme tunduk dan patuh menghormati keinginan bangsa yang ingin merdeka. Sihir Proklamasi Soekarno-Hatta diakui dunia.
Negara yang dibangun dengan rasa Nasionalisme membuat kita tidak berasa hidup ngontrak di rumah sendiri. Optimisme menjadi negara berdaulat membuat para kolonialis berpikir Indonesia adalah ancaman terbesar. Mustahil meruntuhkan persatuan dengan bom atom, ribuan panser atau ratusan rudal.
Para Kolonial merasa De’Javu atas keberhasilan mengubur Majapahit dan Sriwijaya. Adu domba harus dijalankan lagi untuk mengendalikan Indonesia dari dalam. Revolusi 65 terjadi di saat kita makin disegani dengan sepak terjang memprovokasi bangsa lain untuk merdeka.
Masa transisi orde lama ke orde baru menjadi pelajaran pahit runtuhnya persatuan karena adu domba. Orde baru yang lahir dari skenario kolonialisme menyisakan banyak persoalan masa depan Indoesia di kemudian hari. 32 tahun kita menikmati kemerdekaan tanpa kedaulatan. Kehilangan momentum persaingan peradaban yang hanya bangga menjadi negara pengunduh, bukan pengunggah.
2014 nafas Nasionalisme kita diperpanjang atas kehadiran Jokowi dari balik tikungan. Mendobrak tatanan politik hingga ke luar negeri. Kita merasa De’Javu keberanian Soekarno terjadi pada Jokowi. Bukan dengan orasi berapi-api, tapi dengan membumi serendah-rendahnya tanah. Mendengar suara rakyat hingga lirih suara serangga. Melawan hegemoni kapitalis dan kolonialis dengan kesadaran geostrategi berada di tengah kepentingan barat dan timur.
Jokowi berkesempatan membangun kembali pondasi ekonimi bangsa yang lapuk termakan usia dan rayap. Menata ulang di tengah gempuran bertubi-tubi dari kelompok yang merasa dirugikan karena negara pro rakyat.
17 Agustus 2022, tinggal menyisakan 2 kali lagi dijalaninya sebagai inspektur upacara di istana negara. Siapapun yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan setidaknya rakyat sudah cerdas menentukan. Setidaknya bukan antithesis dari Jokowi. Setidaknya bukan yang ingin mendirikan negara Syari’ah Islam
Dan setidaknya selama 8 tahun belakangan ini, Jokowi telah melahirkan Jokowi-Jokowi baru. Lahirnya cara pandang ukuran peradaban negara bukan diukur dari seberapa banyak gedung pencakar langit dibangun, sebanyak apa mobil mewah memenuhi jalanan. Tapi seberapa upaya negara menipiskan kesenjangan kemiskinan dengan kemewahan. Sejauh apa menengok sudut-sudut terpecil demi memeratakan keadilan. Dan seberapa besar kita bersyukur kepada Sang Pencipta, bahwa kita hari ini masih diijinkan menyanyikan lagu kebangsaan dengan bendera yang sama
Dirgahayu Indonesia
Penulis : Dahono Prasetyo