Membicarakan Blok Rokan (baca : sumur minyak bumi) tak lepas dari kepentingan ekonomi. Akhir tahun 2019 terjadi penandatanganan alih kelola dari pihak asing ke Pertamina. Perusahaa Chevron selama 5 dasawarsa diberi mandat mengelola explorasi minyak bumi sudah seberapa besar memberi kontribusi bagi Indonesia? Jawabannya bisa berbagai versi data dan angka. Namun ada hal itu yang lebih penting, yaitu keberanian Pertamina menawar kompensasi lebih tinggi dibanding Chevron sendiri sebagai pengelola sebelumnya, menjadi loncatan prestasi yang lebih dari lumayan.
Pertamina punya perhitungan strategis mengambil alih pengelolaan Blok Rokan di Riau. Minyak bumi hanyalah bahan dasar dari industri hilir di bawahnya.
Mari kita coba berfikir bahwa tidak selamanya minyak bumi itu habis dikonsumsi untuk bahan bakar. Tetapi industri Petrokimia berbahan baku minyak bumi menjadi salah satu industri strategis bernilai ekonomis. Sebagian kita barangkali lupa bahwa serat baju, plastik, pupuk, bahan kimia dan sintetis lain berasal dari minyak bumi. Industri Petrokimialah yang merubah bahan cair minyak bumi menjadi gas : Amoniak, Methanol, Naphta, Propylene dll. Bahan senyawa tersebut adalah bahan dasar botol plastik, serat textile, casing HP, fiber bahkan spanduk baleho kampanye Pilpres.
Selama ini Chevron menyedot isi bumi Rokan berharga murah karena masih berupa minyak mentah. Kemudian Chevron mensuplay industri Petrokimia ke negara lain yang hasilnya adalah barang sintetis yang kita impor setiap hari. Minyak dijual murah setelah diolah kita beli dengan harga tinggi. Ironis.
Apakah isi perut bumi di Blok Rokan sudah habis? Pastinya belum tapi berkurang iya. Jumlahnya yang tinggal berapa persen diolah industri Petrokimia yang punya nilai jual lebih tinggi daripada minyak mentah.
Sumber Daya Alam yang ada sudah bukan waktunya lagi menjadi bahan komoditas yang dijual mentah, seharusnya menjadi bahan olahan yang bernilai tinggi. Kita pernah menjadi terdepan di Asia Tenggara dalam Industri Petrokimia ketika Candra Asri dkk di wilayah Cilegon Banten menjadi pemasok utama industri Petrokimia di Asia Tenggara. Entah karena beralihnya kebijakan pemerintah pada masanya yang malas mengelola minyak bumi, lebih simpel dijual mentah menjadikan Industri Petrokimia minim atau mahal bahan bakunya.
Kilang minyak Balongan Indramayu Jawa Barat menjadi kilang minyak terbesar dalam rencana awalnya. Unit pengolahan yang ada tidak maksimal. Bukan karena rusak tetapi pasokan minyak mentahnya dari Pertamina hanya di jatah secukupnya saja, sisanya impor dari negara lain yang sudah tentu mahal. Para penentu kebijakan SDA sebelumnya keasikan menjual daripada ribet mengolah.
Kebijakan terbaru adalah larangan ekspor batu bara mentah. Sesuatu yang berdampak sentimen dagang di industri hilir di luar negeri. Industri gasifikasi batubara di mulut tambang Muara Enim Sumatera Selatan yang baru saja diresmikan merubah batubara menjadi gas DME, menjadi ancaman serius bagi importir gas LPG. Sebagian besar cadangan batubara di sepanjang Sumatera fokus untuk industri DME. Dampak sistemiknya sebentar lagi LPG akan digantikan bahan DME yang lebih efisien dan murah karena kita sudah punya industrinya sendiri.
Sudah paham kan, siapa pemain monopoli impor LPG? Konversi bahan bakar minyak tanah ke LPG, produsen tabung gas, hingga distribusinya. Apapun nama perusahaannya, konsesinya berbendera partai “kuning”. LPG hasil impor dihargai mahal yang akhirnya mengharuskan pemerintah memberi subsidi untuk menekan harga jual ke konsumen.
Sebagai ilustrasinya harga impor LPG aslinya hanya 10 ribu, cukup tambahin 2 ribu untuk jasa importir. Karena masyarakat butuh maka harga jual dinaikkan dari 12 ribu menjadi 22 ribu. Agar terjangkau masyarakat, pemerintah memberi subsidi 7 ribu jadi harga jual di konsumen “hanya” 15 ribu. Subsidi 7 ribu dari pemerintah larinya kemana lagi kalau bukan ke kantong importir, maka secara sah subsidi menjadi cara legal “menggerogoti” negara.
DME sebagai pengganti LPG suatu saat bukan hanya menghancurkan bisnis benalu, tapi juga mengurangi beban negara. Kalaupun masih tetap “dimainkan” setidaknya sudah tidak sekejam LPG.
Masih hangat bulan lalu minyak goreng mendadak mahal sampai pemerintah turun tangan jualan harga 14 ribu. Sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia dan akhirat, sungguh ironis bisnis rente justru menjadi biang keladi harga mahal yang mesti diterima konsumen, bukan karena kelapa sawit habis.
Suatu saat pemerintah mesti memikirkan bagaimana industri CPO tidak lagi dimonopoli swasta. Sesuai amanat undang-undang : Sesuatu yang menyangkut harkat hidup orang banyak dikuasai negara, bukan lagi dikuasai swasta.
Negara yang sudah dikuasai swasta, kebijakannya tidak akan jauh-jauh dari untung rugi. 2 periode Jokowi yang berjalan “aduhai” ini meski belum sepenuhnya mampu merubah, setidaknya sudah mulai berpikir ke arah sana. BUMN yang memproduksi CPO selama ini sengaja tidak didirikan karena melindungi industri CPO swasta.
Ilustrasi SDA Indonesia barangkali serupa kayu raksasa. 10 orang bergandengan tangan belum cukup utk merengkuh lebar keliling kayu. Potensi SDA kita belum setengahnya diolah. Blok migas Masela di laut Banda Maluku masih nganggur, pasir silica di Kalimantan belum diolah, bauksit di Bintan belum ada yang mau menggali, belum lagi ratusan ton ikan di selat Natuna terpaksa dicuri gegara dibiarkan berenang
Sebagian kita yang malas tidak mau repot mengolahnya lantas meminjam tangan asing atau menjualnya murah. SDA yang seharusnya bisa untuk menghidupi 270 juta rakyat, hanya bermanfaat bagi segelintir orang-orang malas yang tidak mau repot. Sebagian lagi dinikmati asing. Sebagian besar warga republik hanya menikmati sisa-sisa dari mereka.
Itulah kesenjangan yang dipelihara oleh segolongan orang-orang pintar jauh dari bijaksana. Kesenjangan yang akhirnya muncul ide negara dikelola secara Syari’ah. Itu juga akal-akalan mereka saat terganggu keberanian Pemerintah Jokowi yang mulai mengeksekusi kemandirian pengelolaan SDA. Nyali untuk menantang para kepentingan asing dengan spirit kemandirian, nasionalis dan kedaulatan. Tinggal kita mau bergerak atau tidak.
Itu saja sih
Penulis : Dahono Prasetyo