Tahun ini ada 7 Gubernur yang habis masa jabatannya, salah satunya Anis Baswedan. Masing-masing “pensiunan” kepala daerah sudah menyiapkan strategi politik untuk ke depannya. Bagi Anies langkah menuju Pilpres 2024 lebih panjang durasinya dibanding calon potensial lain Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil yang baru habis Oktober 2023 nanti.
Persoalan “mencuri start” ketiga calon potensial punya kiat tersendiri. Ganjar dengan strategi popularitas medsos, Kang Emil yang diam diam memperkuat jaringan senyapnya dan Anies dengan segudang kontroversialnya. Daftar popularitas ketiga kepala daerah yang berambisi menjadi kepala negara dirilis oleh lembaga survey sebagai rujukan sosok yang sering diperbincangkan di masyarakat.
Popularitas tidak berbicara tentang prestasi kepemimpinan, tetapi sejauh mana sosok dikenal oleh publik baik dalam persoalan positif maupun negatif yang berkembang. Berbeda dengan Elektabilitas yang sudah bersinggungan dengan masalah “kesukaan”, keterpilihan dan kepantasan pada kepentingan tertentu. Menjadi Presiden contohnya.
Berdasarkan hasil survei Popularitas, nama Prabowo Subianto meraih angka (93%), Anies Baswedan (87,7%), Sandiaga Uno (79,7%), Ganjar Pranowo (72,2%), dan Agus Harimurti Yudhoyono (67,1%). Sedangkan nama Puan Maharani meraih (66%), Ridwan Kamil (63,8%).
Akan berbeda peringkatnya ketika survey berorientasi pada Elektabilitas. Prabowo berada di angka 24,1 persen, disusul Ganjar Pranowo 20,8 persen dan Anies 15,1 persen. AHY 6,8 persen, Ridwan Kamil 5,5 persen, Sandiaga Salahuddin Uno 3,9 persen, dan Tri Rismaharini 3,2 persen.
Catatan khususnya untuk Anies dan Ganjar, secara popularitas Anies mengungguli Ganjar. Namun tingkat elektabilitas Ganjar di atas Anies.
Kondisi ini akan berubah signifikan ketika keduanya sudah melepas beban tanggung jawabnya sebagai kepala daerah. Mesin politik Anies lebih leluasa bergerilya terbuka dari Oktober 2022 hingga 2024 nanti. Sedangkan Ganjar baru sah bermanuver bersama mesin politik para relawannya tahun depan.
2022 menjadi “starting point” tahun politik yang sesungguhnya bagi keduanya. Anies lebih leluasa “nggosip” lawan terberatnya Ganjar di tahun ini, yang otomatis akan berhadapan dengan front relawan Ganjarnya. Atau Anies lebih leluasa berduaan dengan Prabowo membicarakan kesepakatan politik. Safari politik Anies lebih intensif dilakukan, keluar masuk markas DPP tiap Parpol, atau bertemu tokoh-tokoh berbasis massa.
Apa yang akan dirasakan Ganjar yang masih harus menahan diri setahun lagi? Pasifnya Ganjar menjadi self defense, diamnya Ganjar adalah bentuk kepatuhan pada aturan. Dan ketidak-ambisian Ganjar menjadi poin terpenting mempertahankan elektabilitasnya.
Anies dan Ganjar, dua sosok yang menjadi agenda spesial mesin mesin politik lawan kontestan lainnya untuk dijatuhkan. Anies yang baru akan diusut serius amburadulnya manajemen DKI usai dia pensiun. Dan Ganjar yang akan sibuk digerus oleh kepentingan partainya sendiri.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kandidat terkuat lain -Prabowo dan Puan- bersih tanpa beban masalah hingga tak butuh “diurus”?
Mempersilahkan mereka bersatu ibarat berkumpulnya dua masalah besar. Menumbangkan 2 gajah yang bersatu dalam satu suksesi tidak bisa dilakukan oleh kekuatan logistik atau militansi mesin politik lawan. Tetapi oleh akal sehat 160 jutaan suara pemilih.
Penulis : Erlangga Bhumi