Pilpres 2024 diprediksi akan berjalan alot di tingkat negosiasi elit Partai Politik dalam menentukan tiket pasangan calon yang akan bertarung berebut suara. Itupun baru kompromi awal, siapa-siapa nama yang fotonya terpampang di kertas suara, rakyat sebagai pemilih tidak punya kuasa apapun. Karena itulah skema demokrasi elitis.
Bocornya kabar Ganjar mengumpulkan para pengusaha di Jawa Tengah untuk membentuk jaringan relawan, merupakan sinyal perlawanan kepada skema elite politik PDIP yang berupaya mengganjal elektabilitas Ganjar. Para pengusaha Jawa Tengah yang menyadari Gubernurnya sedang “dipermainkan” oleh intrik politik dari dalam, sepakat membentuk poros-poros relawan. Merangkul dukungan akar rumput non partai sebagai cara mempertahankan popularitas dan elektabilitas Ganjar di kancah Lembaga Survey.
Seberapa kuat pengaruh lembaga survey berbasis elektabilitas dan popularitas menggerus intrik internal partai, yang pasti efeknya sudah membuat gerah para elitenya.
Melalui mesin partai yang mengatasnamakan DPP PDIP, beberapa kader banteng mulai bersuara keras memojokkan Ganjar. Menisbikan Ganjar yang dianggap tanpa prestasi selama 2 periode memimpin Jawa Tengah, hingga ketidakpatuhannya pada Puan sebagai representasi kebijakan DPP. Hobby ber-Medsos Ganjar diungkit sebagai kampanye terselebung, padahal Medsos-lah sarana komunikasi efektif pemimpin kepada rakyat sebagai “Ndoro-nya” di era digital ini. Ribuan sebaran baleho besar pada akhirnya kalah efektif dengan unggahan video di IG saat Ganjar gowes menyapa warganya. Ngobrol lesehan ngopi bareng pedagang pasar, atau Ganjar kedapatan mojok difoto sedang makan nasi kardus.
Ini era dimana media digital menjadi sarana komunikasi yang tidak bisa berbohong dibanding benda diam bernama baleho.
Bagaimana bambang Pacul menganggap Ganjar sebagai “musuh dalam selimut”. Lalu Trimedya Panjaitan mempertanyakan prestasi Ganjar di Jawa Tengah dengan menerapkan standar penanganan banjir Rob dan Bendungan Wadas, bisa jadi Trimedya browsing-nya kurang jauh. Bahkan Puan menganggap kekeringan di Wonogiri yang menyebabkan warganya jarang mandi adalah kesalahan Gubernurnya. Bisa jadi dia lupa Bupatinya Joko Sutopo adalah kader PDIP juga. Atau Masinton Pasaribu yang menantang Ganjar untuk Nyapres dari partai lain, barangkali dia tidak baca lengkap UU Pemilu.
Sesuai UU Pemilu, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati diajukan oleh satu atau lebih Partai Politik. Kata diajukan/diusung Partai Politik tidak mewajibkan sosok harus dari kader parpol. Apa iya Masinton lupa, Ma’ruf Amin dulu jadi wakil presiden bukan berasal dari kader Partai manapun. Atau yang paling realistis saat PDIP mengusung Ahok pada Pilkada DKI 2017, apakah dia murni kader Banteng? Ahok mengawali karir politiknya dari Partai PIB, lalu pindah ke Golkar dan loncat lagi ke Gerindra.
Saat PDIP butuh Ahok untuk Pilkada DKI barulah dia ditarik menjadi petugas partai pada tahun 2019. Begitu pula Risma yang awal karirnya seorang PNS yang kemudian setelah sepak terjang dan prestasinya bagus, PDIP menariknya menjadi petugas partai dan mengusungnya menjadi Walikota. Partai “menyabotase” sosok potensial dari tikungan manapun sudah tradisinya. Partai sebagai “angkot politik” bisa mengambil “penumpang” dari mana saja, atau sekedar jadi kendaraan transit sesuai tujuan utama penumpangnya.
Tanpa harus keluar dari PDIP, Ganjar bisa diusung oleh partai manapun yang menganggapnya sebagai potensi terbaik Presiden, saat di Partainya sendiri dianggap sebagai “pengkhianat. Jika kesediaan Ganjar diusungnya Partai di luar PDIP dianggap pengkhianatan, masing-masing Partai punya kode etik intern terkait loyalitas. Ahok dalam sebuah kesempatan pernah memberikan pernyataan : “Tidak ada gunanya loyalitas kepada Partai, kalau kita tidak berguna untuk Rakyat”. Jika kalimat itu ditujukan kepada Ganjar maka tuduhan pengkhianatan kepada Partai akan terjawab.
Pilpres 2024 memungkinkan terjadi fenomena baru, bukan antar elite yang berebut suara, tapi para elite politik melawan kekuatan akar rumput. Mesin-mesin politik melawan para relawan tanpa partai.
Basis relawan yang disatukan olah berbagai pengusaha partisipan meskipun kelas lokal, tapi kompak dalam satu empati.
Perhelatan Pilpres tidak hanya sekedar terjadi di Jawa Tengah. Tapi Megawati sudah pernah membuktikan bahkan tidak akan lupa, tanpa gerakan relawan Pro Mega (ProMeg) di Jawa Tengah era 90an, mustahil dia jadi sebesar sekarang.
Ganjar sedang menjalani siklus itu. Di era dan kecanggihan digital yang berbeda dan tidak lagi terpaku pada militansi analog
Penulis: Dahono Prasetyo