Gerbong Gerbong Politik

Analisa Politik

banner iklan 468x60

Jika kita menganalisa politik melalui bahasa simbol, maka kita akan bertemu banyak puzzle-puzzle. Tapi disitulah benang merah korelasi tidak pernah berbohong, meski sulit diungkapkan.

Foto di bawah ini menjadi moment multi diksi bagi masing-masing individu yang berjajar. Begitu pula multitafsir bagi yang melihatnya. Bagaimana JokPro menterjemahkan sebagai kesepakatan jabatan 3 periode. Kubu oposan memahami sebagai unjuk kekuatan, atau netijen menganggap Jokowi sedang “merangkul” mengajak berjalan bersama, bukan sendiri-sendiri lagi.

Megawati sebagai sosok yang dituakan dalam segi umur tentunya akan lebih dihormati kalimat-kalimatnya, reaksi mendengarnya, bahkan senyumnya. Si bungsu Cak Imin akan lebih banyak mendengar, sesekali menimpali dengan gaya ceplas-ceplosnya sebagai penegasan, bukan melempar gagasan baru.

Setidaknya arah biduk Republik ini akan kemana berada di tangan mereka. Semuanya bertujuan baik menurut versinya masing-masing, minimalnya tidak ada gagasan Indonesia menjadi Negara Syari’ah itu sudah lebih dari cukup.

Ini era dimana Ketua Partai Politik menyimpan agenda tersendiri untuk melanjutkan perjalanan Republik selanjutnya. Ibarat orkestra, masing-masing memegang alat musik berbeda yang menghasilkan suara tidak sama, namun berada di panggung yang sama. Jokowi sebagai dirigennya sebentar lagi akan menyerahkan tongkat kepada siapa, tergantung kesepakatan mereka yang hadir. Bukan kepada penonton apalagi pemain cadangan di belakang panggung.

Dalam penampakan moment keharmonisan, diplomasi meja makan ala Jokowi apakah masih efektif? Mari kita membayangkan pembicaraan yang terjadi di meja makan menjadi lebih simbolis pula. Bagi yang suka tahu atau tempe, vegetarian, suka pedas atau anti micin dipersilahkan tergantung kemampuan tubuhnya usia di atas 50. Tetapi apapun makanannya minumnya sama-sama air putih.

Normatifnya mereka berbicara hal-hal besar, bukan hanya tentang Pemilu apalagi sekedar elektabilitas. Akan mempertahankan atau merubah konsep bangunan politik dan ekonomi pasca suksesi lebih banyak mendominasi pembicaraan. Jokowi sebagai “katarsisnya” sukses memaksa mereka berkompromi di depan meja makan.

Gerbong-gerbong politik yang hadir mustahil bergerak sendiri. Masing-masing gerbong bermuatan beda namun sama-sama butuh lokomotif yang memastikan masinisnya harus muncul dari salah satu gerbong yang ada.

Kesimpulan sederhananya mereka ingin berkata : Capres dan Cawapres 2024 sepakat harus berasal dari anggota penumpang di gerbong utama. Tidak boleh ada penumpang gelap yang tiba-tiba naik ke salah satu dari 7 gerbongnya.

Jadi paham, bagi yang bukan berasal dari penghuni 7 gerbong tersebut tidak mungkin dapat tiket ikut audisi suksesi 2024. Catatan penting untuk AB, AHY, apalagi HRS

Penulis : Dahono Prasetyo

banner 120x600

Tinggalkan Balasan