Kisah Tentang Negara Yang Dikepung Dari Dalam

Nasionalisme

banner iklan 468x60

Menjadi Indonesia tidak hanya pada tebalnya rasa Nasionalisme ber-bendera merah putih dan menelan habis kisah perjuangan Pahlawan dalam buku Sejarah. Bahwa generasi dan segala usaha perjuangan sudah berubah, dari melawan penjajah menjadi mempertahankan keutuhan bangsa dari usaha adu domba memecah belah dari sisi agama, politik, ekonomi hingga budaya warisan leluhur.

Ini jaman di mana kebohongan dan fitnah mengalami over-production. Para Politikus yang senantiasa berjanji akan membangun jembatan, padahal sebenarnya sungai, ngarai, jarak dan persimpangan itu tidak pernah ada.

Kebohongan menjadi cara efektif menyerang lawan.

“Kekuatan tidak terletak pada pertahanan, tapi pada serangan” demikian Hitler seorang ahli strategi pernah berkata. Begitu pula Maradona pernah berkata : “Menyerang adalah pertahanan yang terbaik”. Serangan kepada Pemerintah yang sah seolah tak pernah berhenti dan cenderung makin membabi buta.

Pemerintahan Jokowi yang dianggap sekular dianasirkan lain. Sekuler = komunis dan Komunis = Atheis hingga Atheis = Kafir. Meski sudah jelas diamanatkan dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 bahwa Indonesia bukanlah negara Agama. Dan memang negara yang tidak berdasarkan Agama bisa dianggap Sekuler.

Bagaimana dulu kebijakan menyanyikan lagu Indonesia Raya di sekolah sebelum memulai pelajaran, dipelintir “para penyerang” menjadi meniadakan membaca doa sebelum dan seusai pelajaran. Kerusuhan di Tolikara yang melahirkan isu permainan “aktor” intelejen tingkat tinggi demi perebutan timbunan emas, setelah pemerintah berhasil “merebut” Freeport. Atau kabar serbuan tenaga kerja Tiongkok ke Indonesia yang diwaspadai untuk meng-komuniskan Indonesia. Hingga kontroversi Haram BPJS yang lumayan menghentakkan publik cukup efektif menghantam pemerintah yang berupaya menyehatkan rakyat yang sebelumnya takut berobat karena mahalnya biaya.

Serangan “kebohongan” sederhana yang terasa logis otomatis berbiak setelah diulang ulang ulasannya plus wawancara dan foto subyektif. Masyarakat dipaksa percaya ibarat tayangan sinetron ratting tinggi karena memang tak ada tayangan bermutu lain di TV.

Sementara Netizen masih berhaha-hihi bebas memuaskan dendamnya, saat upaya Jokowi mengusulkan lagi pasal Penghinaan Presiden ke MK terganjal berbagai opsi. Sebagian dari kita para penggila sosmed menjelma menjadi Paranoid, Anti-Tesis dengan sentimentil tingkat dewa. Ketagihan isu, berita ter-up date, copy paste tautan dengan Tag Line bersayap hingga meributkan kepentingan yang gak penting penting amat.

Kitapun terbelah antara patron suka dan tidak suka saling serang melalui media yang makin terbuka tanpa bertemu solusi.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai Pahlawannya. Sedangkan bangsa yang kerdil adalah bangsa yang menghargai diri sendiri tanpa memberi ruang kepada orang lain. Bukankah kejayaan suatu bangsa tidak melulu ditentukan oleh kehebatan pemimpinnya, namun juga diukur dari kecerdasan penghuninya?

Adill-kah saat kita terburu buru menuntut pemimpin yang cerdas saat kita sendiri baru saja terlepas dari kelas idiot? Gagal mencerna perkembangan jaman.

Di perempatan Atrium Senen Jakarta tahun 2003, sekitar pertengahan tahun pernah melihat sebuah pertunjukkan Performance Art. Seorang lelaki berpakaian petani duduk dikelilingi sebaran koran, majalah, buku, dan media baca lain. Dia terlihat serius membaca salah satu koran, usai membaca dengan tenang dia memasukkan kertas itu ke dalam mulutnya dan menelannya. Kemudian dia mengambil kertas lain, membacanya kemudian menelannya lagi. Begitulah berulang ulang tanpa aku tahu maksudnya. Setelah kira kira setengah jam wajahnya terlihat pucat seakan menahan sesuatu. Tak lama kemudian dari mulutnya muntah dengan isi berupa sobekan koran, majalah, selebaran.

Dahsyat!! Sebuah penggambaran kongkrit apa yang sedang kita lakukan. Kita yang dipaksa menelan semua berita informasi yang berseliweran sebatas judul, hingga muntah.

Penulis : Isrananda (Mei 2020)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan