Masih ingat Ramalan Joyoboyo tentang Notonegoro? Dalam berbagai ilmu tafsir dan cucoklogi seringkali dikaitkan dengan nama akhiran pemimpin Indonesia. Seusai Sukarno berganti Suharto, jongko Joyoboyo itu masih berlaku, namun setelah itu kita tidak menemukan nama Presiden dengan akhiran Ne, Go dan Ro pada Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY hingga Joko Widodo. Adakah yang salah dengan ramalan itu? Barangkali sudut pandang yang harus bergeser untuk menemukan rahasia warisan leluhur itu.
Kata Notonegoro tidak selalu dihabiskan oleh simbol nama pemimpin. Barangkali hanya berhenti sampai SukarNo dan SuharTo sebagai platform “Negoro”. Mereka berdualah simbol ideologi bernegara di Indonesia. Sukarno sebagai Liberal dan Suharto ala Konservative nya. Kemudian keduanya bersaing di tingkat “anak ideologinya”. Lengsernya Suharto dilanjutkan Habibie yang masih satu kandung Ideologi Suharto. Beralih ke anak Ideologi Leberalnya Sukarno lewat Gus Dur dan Megawati. Lalu siklus beralih ke Konservative lagi di 2 periode bersama SBY. Dan kini berada di tangan Jokowi yang penyempurnaan Liberalisnya Sukarno mampu bertahan hingga 2 periode mengalahkan Prabowo yang mewakili Neo Konservative nya Suharto.
Ideologi Partai yang mendominasi di sebuah Negara penganut faham Demokratis secara garis besar hanya ada 2 aliran yaitu Liberal dan Konservatif. Perbedaan mendasar ada pada cara “defense” nya. Liberal berkembang meng-inovasi segala potensi yang ada. Meng-update kecenderungan peradaban dan meng-aktualisasi diri dengan sistemik.
Sedangkan Konservatif layaknya tim sepakbola, berusaha memperkuat pertahanan serapat mungkin karena kekhawatiran ada ancaman serangan balik lawan menciptakan gol. Untuk apa sibuk menyerang kalau sudah nyaman dengan pertahanan yang ada. Biasanya konsep tersebut cenderung mempertahankan “comfort zone”, pesimis pada perubahan dan rajin menakut nakuti bahaya sebuah situasi baru.
Joyoboyo dengan Notonegoronya tetap menyimpan daya tarik analisis. Sejauh mana kita mengungkap simbol simbol filosofi dan prediksi warisan leluhur, tergantung kepekaan kita. Bagaimana Satriya Piningit tidak selamanya “wingit” (angker) dan “dipingit” tiba tiba muncul menjadi menjadi simbol sosok penyelamat bangsa. Dia yang juga membawa masa keemasan bangsa, atau setidaknya menjadi masa terbaik bangsa dibanding perjalanan panjang sebelumnya. Gus Dur diakui atau tidak, telah tercatat dalam ingatan sejarah merasakan menjadi Satriya Paningit dengan menyelamatkan bangsa dari riuh reformasi yang berujung perebutan kursi kosong kekuasaan. Sedangkan Jokowi tanpa disadari sedang membawa bangsa pada masa keemasan dengan cara menyelamatkan ke-Bhinekaan yang nyaris terkoyak. Siapakah Satriya Piningit selanjutnya?? Silahkan membaca situasi bangsa dengan akal sehat, bukan dengan fanatisme berbaju Agama.
Penulis : DP Prasetyo