Berawal dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyampaikan persoalan kuota subsidi BBM tahun 2022 yang akan habis sebelum waktunya di bulan Oktober. Para pengamat, media, politikus hingga pengusaha menerjemahkan harga BBM bersubsidi akan naik karena dana subsidi habis.
Sri Mulyani mengeluhkan alokasi subsidi yang tidak tepat sasaran peruntukannya. Lebih banyak dinikmati golongan yang tidak seharusnya menerima subsidi karena punya kemampuan ekonomi. Ini bukan sekedar persoalan si kaya dan si miskin. Masyarakat dan pengusaha.
BBM untuk sarana penunjang transportasi dengan sarana usaha produksi berbeda nilai ekonomisnya. Kendaraan untuk berangkat kerja dengan bisnis transportasi tentunya berbeda nilai ekonomisnya. Saat semuanya memanfaatkan BBM bersubsidi maka persoalan menjadi rumit. Kendaraan yang beroperasi menghasilkan pendapatan menggunakan BBM bersubsidi artinya pemerintah melipatgandakan pendapatan pengusaha.
Sampai disini subsidi tidak tepat sasaran menemukan alasannya.
Terkait dinamika situasi, Jokowi mengeluarkan instruksi penyaluran bansos BLT pengalihan subsidi BBM sebesar 600 ribu untuk 20,65 juta warga penerima manfaat selama 4 bulan. Diserahkan 2 kali masing-masing 300 ribu.
Hari ini 1 September rencana kenaikan harga BBM yang diprediksi dan dipersiapkan dengan matang, tidak terjadi. Justru terjadi penurunan harga di beberapa jenis BBM. Masyarakat yang terlanjur antri BBM semalam seolah kena prank.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dalam situasi dilema matematika ekonomi, Pemerintah hanya punya 2 pilihan. Menyelamatkan keuangan negara atau berpihak pada rakyat apapun golongannya.
Jokowi memutuskan memilih opsi kedua. Konsisten berpihak kepada rakyat. Jokowi yakin ada jalan keluar menyelamatkan APBN tanpa harus mengorbankan rakyat.
Nikmat mana lagi yang kita dustakan?