Jika ingin kondisi Politik dalam negeri stabil, jadilah antek Amerika. Demikian jargon di awal tulisan ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa masa keemasan kestabilan politik dan ekonomi Indonesia terjadi di masa Orde baru, dimana Soeharto mencengkramkan rezimnya selama 32 tahun. Apakah kemudian Soeharto otomatis menjadi antek Amerika? Bisa benar bisa pula tidak sepenuhnya benar.
Tragedi G30S PKI yang berujung penggulingan Soekarno banyak rumor yang terang terangan menjelaskan adalah hasil konspirasi Amerika dan sekutunya. Sebegitu bernafsunya Amerika ingin “bermain” di Indonesia pada masa itu tak lepas dari keras kepalanya Soekarno yang menolak investasi Amerika di bumi pertiwi. Irian Jaya yang disebut ilmuwan Amerika sebagai pulau emas adalah sumber masa depan Amerika.
Namun sayangnya Soekarno sudah faham sumber kemakmuran, itu jauh sebelum ilmuwan Amerika tercengang mengetahui cadangan emas terbesar di dunia ada di Papua. Bujuk rayu pada Soekarno tak mempan sedikitpun, hingga Amerika geram. Alhasil Soekarno tumbang di tangan Panglimanya sendiri atas “ide kreatif” Amerika.
Soeharto melanggeng tanpa lawan. Indonesia menjadi anak emas Amerika di tangan Soeharto. Freeport dikeruk tiada henti. Orde baru terlena berfoya foya atas pembagian hanya 1% dari royalty exploitasi gunung emas yang memanjang ribuan kilometer. Politik ekonomi relative aman terkendali dibawah tangan dingin Soeharto. Kalaupun terjadi gejolak cukup diselesaikan secara sporadis represif.
Puncak kegelisahan rakyat Indonesia meledak di tahun 1998 saat era reformasi dan krisis moneter hampir terjadi bersamaan. Amerika sedikit khawatir akan situasi itu. Ancaman kelangsungan “surga Freeport” memaksa Amerika menciptakan situasi dilematis. 3 Presiden pemegang estafet orde baru dibuat pusing pada gejolak politik dan ekonomi yang berkesinambungan terjadi.
Pertarungan elite politik antara yang menginginkan reformasi dengan mempertahankan orde baru jilid 2 memakan korban Gus Dur dan Megawati yang dipecundangi oleh sosok Perwira Militer yang tiba tiba muncul dari tikungan. SBY menjadi Presiden Neo orba dengan mengorbankan banyak kepentingan nasionalis yang coba ditata 2 presiden sebelumnya.
Namun 10 tahun sungguh waktu yang singkat untuk Amerika menarik nafas lega. Diuar dugaan Jokowi muncul dari tikungan tajam transisi 2 periode, memporak porandakan tatanan skenario Amerika. Jokowi bukan cuma keras kepala untuk urusan Freeport, tapi langsung menantang Amerika. Meminta hak royalty dengan jumlah fantastis. Jika tidak dituruti silahkan hengkang atau terpaksa hengkang.
51% adalah angka impossible dalam logika ekonomi Amerika. Namun bukan Amerika kalau tidak punya jurus seribu tipu. Permintaan Jokowi dituruti, hasilnya seperti yang kita nikmati bersama, situasi politik amburadul, persatuan retak, perselisihan bangsa tumpang tindih tak kunjung surut. Amerika tak peduli berapapun biaya yang harus disalurkan kepada proxy untuk untuk melengserkan Jokowi. Demi Freeport, demi jutaan ton emas dan uranium yang belum sepenuhnya digali. Dan demi kemerdekaan semu di Indonesia.
Amerika bukan segalanya bagi Indonesia, namun segala penjuru bumi butuh Indonesia. Surga dunia sepanjang 1,9 juta kilometer persegi. Pusat berkumpulnya habitat laut terbesar di dunia. Gunung berlapis emas tak habis digali 7 generasi. Lautan minyak bumi di bawah tanah yang cukup untuk menghidupi setengah penghuni bumi. Pusat kayu kayu terbaik di dunia yang selalu tumbuh tak perlu ditanam.
Kadang kita lupa memiliki itu semua, karena sibuk bertikai tentang Ideologiku yang paling bagus Ideologimu jelek. Tentang ras-ku yang paling unggul dan ras-mu paling pecundang. Tentang siapa kamu dan siapa aku. Tentang si kaya disanjung dan si miskin dinisbikan
… dan tentang Agamaku yang benar Agamamu salah.
Jangan pernah berhenti berfikir merdeka, sedetikpun berhenti kita sudah terjajah.
Penulis : Dahono Prasetyo