Sebagian Kita Memang Masih Miskin Empati?

Subsidi BBM

banner iklan 468x60

Waktu Jokowi menjadi Gubernur DKI, suatu ketika pernah blusukan ke pemukiman kumuh di bantaran kali Ciliwung. Ketika itu Jokowi masuk salah satu rumah penduduk karena kebetulan dipaksa oleh pemilik rumah untuk mampir. Alasannya orang tuanya yang lagi sakit ingin bersalaman dengan Jokowi.

Karena ukuran rumah sangat kecil hanya muat 4 orang maka yang masuk kedalam rumah itu hanya Jokowi, ajudan dan kawan saya yang kebetulan kontraktor proyek kali Ciliwung. Yang lain menunggu diluar. Di rumah itu tidak ada kursi tamu. Para tamu hanya duduk dilantai beralaskan tikar lusuh.

Pemilik rumah menyuguhkan minuman. Ketika teman itu hendak minum, dia mencium bau sabun pada gelas itu. Dia batal minum karena tahu gelas itu tidak bersih. Dia perhatikan gelas yang lain juga sama karena nampak membayang kesan kotor. Benar juga para ajudan juga melakukan hal yang sama dengan teman ini, tidak jadi minum.

Namun Jokowi dengan tersenyum sambil berbicara dengan pemilik rumah, menghabiskan minuman itu. Tidak ada kesan ragu di wajah Jokowi saat minum air dari gelas kotor itu.

Yang membuat saya terkejut saat teman saya bercerita adalah sikap Jokowi ketika ditanya: “Apakah bapak merasakan aroma sabun pada gelas itu”

Dengan tersenyum Jokowi berkata: “Air dengan gelas beraroma sabun adalah inspirasi saya untuk berbuat karena cinta. Pemimpin tidak akan merasakan ini kalau dia hanya berada di kantor atau di istana”

Selanjutnya Jokowi mengatakan bahwa ketika dia merasakan aroma sabun pada gelas itu, hatinya menjerit karena inilah yang dirasakan oleh sebagian besar rakyatnya setiap hari yaitu kelangkaan air bersih. Air adalah esensi kehidupan dan negara gagal menjaga yang esensi itu.

Mereka yang tinggal di daerah kumuh menghadapi masalah kesehatan, pendidikan, perumahan, kesempatan berusaha, lingkungan dan lain sebagainya. Kehidupan mereka sudah ada sejak negeri ini merdeka. Mengapa? karena selama ini negara tidak hadir ditengah tengah mereka. Negara terlalu jauh untuk dijangkau dan menjangkau. Akibatnya keadilan sosial semakin jauh dan jauh. Sebagai orang yang lahir dari keluarga miskin, saya dapat merasakan suasana hati Jokowi melihat kegetiran dihadapannya. Karena Jokowi juga lahir dari keluarga miskin. Mungkin juga anda atau siapapun yang kini hidup lapang pernah merasakan kegetiran hidup dalam kemiskinan seperti itu. Akan merasakan hal yang sama.

Menanamkan empati terhadap keadaan lingkungan yang terbatas akan akses sosial , tidak mudah. Kalau anda tidak pernah merasakan getirnya hidup dipinggiran kali. Tidak pernah merasakan getir di usir karena engga mampu bayar kontrakan. Tidak pernah merasakan getir karena engga ada uang bayar anak sekolah.

Anda tidak akan merasa kekuatan empati dalam diri anda. Sulit bagi orang seperti Prabowo yang sedari kecil lahir dari keluarga bangsawan dan menikah dengan keluarga presiden akan merasakan kegetiran itu. Sulit bagi Sandi yang hidup dimanja oleh keluarga William yang konglomerat untuk merasakan kegetiran itu. Mungkin mereka peduli kepada orang miskin tapi untuk menjadi petarung bagi kaum miskin sangat sulit. Karena dalam gen mereka tidak ada memori kegetiran. Jadi empatinya terukur.

Makanya ketika Jokowi menjadi Presiden, saya terpanggil mendukungnya karena tanggung jawab moral agar lahir pemimpin dari kaum bawah, yang akrab lahir batin dengan kemiskinan, sehingga dia akan jadi pembela orang miskin. Negeri kita kaya tetapi kita miskin pemimpin yang punya empati bagi si miskin. Kebanyakan hanya sebatas retorika namun tidak bisa lari dari fakta yang kemaruk harta dan lupa kepada si miskin ketika berkuasa.

Kalau Tuhan memberi rahmat kepada suatu kaum maka dipilihlah pemimpin yang lahir dari kaum duafa dan dia akan selalu dijaga Tuhan untuk melaksanakan keadilan Tuhan bagi si miskin. Saya percaya itu, makanya saya membela Jokowi untuk kebaikan, agar Indonesia lebih baik.

Penulis : Erizeli Jely Bandaro (2014)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan