Gejolak kenaikan BBM terkait pegurangan subsidi dari pemerintah menimbulkan banyak pro kontra. Sebagian masyarakat menyalahkan kebijakan pemerintah yang menganggap menyengsarakan rakyat. Di sisi lain Pemerintah harus menyelamatkan beban APBN yang terus tergerus untuk alokasi subsidi.
Dr Revrisound Baswir, M.B.A, Ak, CA Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dan juga Pejuang Ekonomi Kerakyatan mengungkapkan pandangan berbeda. Dalam acara Webinar Ngaji Marhaenisme Minggu (4/9) yang diselenggarakan oleh NBC Indonesia dan Keluarga Besar Marhaenisme (KBM), Revrisound mengingatkan pentingnya masyarakat melihat persoalan BBM dalam prespektif Nasionalisme.
“Úpaya pihak asing menghapuskan subsidi BBM sudah terjadi sejak tahun 1998 pasca reformasi. Harga BBM yang mengikuti trend pasar yang dikendalikan asing memaksa pemerintah mengucurkan subsidi agar harganya terjangkau” jelas Revrisound yang bertindak sebagai narasumber dalam acara tersebut.
Harga BBM yang terus melonjak dari tahun ke tahun adalah strategi pihak asing mengendalikan ekonomi bangsa melalui skema inflasi. Tanggung jawab pemerintah dengan memberi subsidi harga sebagai langkah kebijakan menghindari gejolak yang terjadi akibat naikknya harga BBM yang berpengaruh pada sektor ekonomi.
“Premium murah sudah dihilangkan, pemerintah kemudian mengeluarkan Pertalite sebagai bentuk perlawanan. Pertalite nanti akan dihabisi juga. Harganya nanti naik lagi sampai kemudian tidak relevan ada Pertalite Pertamax dan suatu saat akan hilang juga. Sudah ada 40 perusahaan SPBU asing yang sudah mengantongi ijin usaha. Mereka akan menguasai 50% penjualan BBM dan membuka di seluruh wilayah Indonesia (Red : Dengan harga kemungkinan sama bahkan lebih murah). Mereka tinggal menunggu timing saja.” lanjut Revrisoud.
Keputusan menaikkan harga BBM didominasi oleh situasidan kepentingan di luar negeri. Permainan harga minyak mentah, pasokan hingga, distribusi yang terganggu akibat krisis global. Pemerintah mendapat tekanan luar biasa dari pihak luar dalam situasi harus berpihak kepada rakyat.
“Jika kita keliru membaca persoalan ini maka kemarahan kita salah alamat. Kita bisa marah kepada penguasa, padahal penguasa itu juga ditindas (Red : pihak asing). Karena penindasan yang kita alami tidak berifat domestik, tetapi Internasional” jelas Revrisound menyimpukan pernyataannya.