Muncul cuitan di Twitter terkait kebocoran data yang berasa dari Kominfo :
“1,3 miliar data pendaftaran kartu SIM telepon Indonesia bocor!,”
Data yang bocor mencakup nama, nomor induk kependudukan (NIK), nomor telepon, nama penyedia (provider), dan tanggal pendaftaran. Menanggapi hal tersebut Kominfo melalui Menteri Johni G Plate menyampaikan himbauan masyarakat untuk melindungi data pribadi berupa NIK dan sering mengganti password di masing-masing platform.
Berbagai tanggapan muncul atas respon Menkominfo terkait perilaku hacker yang menggunakan nama Bjorka. Persoalan NIK yang dianggap Johni G Plate sebagai biang keladi kebocoran data, justru menjadi bahan olokan netijen yang paham dunia IT.
Urusan pembocoran data melalui NIK sudah dianggap biasa di Indonesia. Nomer Induk Kependudukan dengan nomer yang terkoneksi digital pada akhirnya sudah bukan barang privasi lagi. Seperti dalam tampilan foto di atas ini. Semudah itu lembar Kartu Keluarga berisi data pribadi menjadi barang bebas beredar. Menjadi bungkus kacang, tempe atau nasbung sering kita temui.
Entah darimana asalnya, Foto Copy KK menjadi prasyarat penting birokrasi data, baik di pemerintahan maupun swasta. Masalah data menjadi kependudukan menjadi online hanya tentang cara penyampaiannya. Untuk penyimpanannya masing-masing pengumpul data masih belum berfikir tentang kerahasiaannya.
Jual beli data pribadi kependudukan lebih banyak dilakukan untuk menawarkan suatu produk digital, penipuan online hingga penggalangan dukungan pemilihan umum.
Kegaduhan bocor data kependudukan pada akhirnya bermuara kepentingan suksesi 2024 yang tinggal 15 bulan lagi. Jualan data penduduk untuk menggalang dukungan pemilih paslon itu juga termasuk bisnis Pemilu juga.
Pilkada, Pileg, Pilpres secara serentak, semua diawali dari data kependudukan. Siapa yang lebih masif menguasai data, setidaknya punya modal berhitung berapa besar suara bisa didapat. Meski itu tidak lantas membuatnya menang dengan cara curang.