Di era reformasi yang fenomenal pernah terjadi aksi demo mahasiswa tahun 1998 menduduki gedung DPR dan berujung jatuhnya Orde Baru. Berlanjut aksi massa menentang pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid 3 tahun setelahnya.
Semenjak 2 peristiwa aksi massa besar-besaran itu, praktis tidak ada lagi demo gratisan yang dilakukan suka rela mengagendakan perjuangan perubahan negara. Aksi sejuta umat berlabel 212 yang juga fenomenal masih berada dalam agenda pragmatis kelompok beridentitas tertentu, bukan kepentingan nasional.
Begitu pula mahasiswa dan ormas yang berencana turun aksi demo besar-besaran Senin 11 September. Menunggangi issue kenaikan BBM untuk mendelegitimasi pemerintah dianggap menjadi agenda paling jitu menggerakkan kekuatan emosional massa.
Berapapun jumlah peserta aksi, seluas apa merebak di kota-kota besar, selalu ada penumpang gelap dan agenda hitam diselipkan. Kalau mau lebih detil menengok komposisi para pesertanya, paling banyak 10% murni tanpa pamrih. Selebihnya tetap berburu job kerumunan, nasi bungkus dan uang keringat 100 ribu.
Jadi sebenernya yang kurang kerjaan bukan mahasiswanya atau ormas bayaran, tapi bandar demonya. Kalau pengen tahu siapa bandarnya, tinggal lihat issue tuntutan demonya. Tidak akan jauh dari kepentingan oposisi.
Perihal biaya demo yang bisa beromset ratusan milyar per hari, dipastikan bukan berasal dari kantong pribadi produser demo. Uang korupsi yang nganggur lebih dari cukup untuk membiayai ribuan massa, lengkap dengan bayaran beberapa intelektualnya yang beraksi dengan opininya di media massa.
Pertanyaan berikutnya, apakah aksi demo mampu menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak, menambah masalah iya.