Bantuan Langsung Tunai : Solusi Sympomatic Bagi Masalah Kemiskinan

Analisa Kebijakan

banner iklan 468x60

Akibat kenaikan harga BBM otomatisberdampak kenaikan harga barang dan jasa karena dipicu meningkatnya biaya transportasi maupun biaya lainnya. Kenaikan harga secara umum ini harus dibedakan antara yang sifatnya “kenaikan yang hanya sekali” (one time increase) atau kenaikan yang terus menerus (continuous increase). Kenaikan harga umum yang terus berlanjut periode tertentu disebut dengan inflasi. Kenaikan harga BBM apabila bersifat inflatoir dapat merambat melalui sisi produksi maupun sisi konsumsi.

Inflasi yang didorong oleh kenaikan biaya produksi barang dan jasa biasa disebut dengan cost push inflation. Inflasi ini cenderung akan memperlemah daya beli masyarakat (purchasing power) terutama untuk kelompok masyarakat berpendapatan tetap (fixed income people). Bagi pedagang (penjual barang dan jasa) kenaikan harga ini akan dialihkan kepada konsumen agar dapat memperoleh keuntungan, walaupun masih ada risiko penurunan jumlah penjualan karena menurunnya daya beli konsumen.

BBM dikonsumsi tidak hanya untuk transportasi tetapi juga untuk kebutuhan industri. Sehingga harga barang produksi juga terdorong naik. Singkatnya dampak akhir penyesuaian harga BBM dapat bersifat inflatoir akan dirasakan oleh konsumen. Bagi mereka yang berpendapatan menengah ke atas masih bisa bertahan selama periode tertentu, namun bagi kelompok miskin dan rentan dampak tersebut akan terasa lebih berat karena lemahnya daya beli mereka.

Secara garis besar tujuannya Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) pengalihan subsidi antara lain adalah untuk. 1. Meningkatkan daya beli masyarakat; 2. Mengurangi angka kemiskinan. 3. Mengurangi tekanan kenaikan harga.

Pemberian BLT BBM untuk selama empat bulan tersebut memang akan sangat membantu kelompok miskin karena ada bantalan untuk menahan tekanan inflasi, walaupun sifatnya hanya sementara (temporary relief). Ibaratnya BLT hanya akan mengobati rasa demam, tetapi tidak mengobati penyakit yang sebenarnya diderita. BLT hanya mengobati symptom penyakit kemiskinan sebagai akibat adanya goncangan ekonomi, yang dalam hal ini akibat tekanan harga-harga.

Dilihat dari peruntukannya, BLT cenderung bersifat konsumtif dari pada produktif, sehingga pengalihan subsidi BBM sudah dapat diperkirakan lebih untuk membantu consumption driven economic growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pengeluaran untuk konsumsi, utamanya rumah tangga. Dalam jangka pendek memang akan membantu penguatan daya beli masyarakat miskin, namun dalam jangka panjang akan masih menjadi pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan mampu berkelanjutan (sustainable) sehingga masyarakat miskin benar-benar akan terentaskan dari kemiskinan.

Harapan dari kebijakan tersebut selama 4-6 bulan ke depan kondisi ekonomi sudah lebih membaik. Namun apabila setelah 4-6 bulan terjadi goncangan ekonomi (economic shocks) lagi, maka dapat diduga jurus BLT akan terulang lagi sebagai solusi. Sudah saatnya dirancang “exit strategy” agar masyarakat miskin dan rentan dapat terentaskan keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan. Daya beli dan daya juang masyarakat miskin harus dibangun agar tidak tergantung kepada bansos.

Temporary remedial terhadap kemiskinan akibat kenaikan BBM tidak akan berulang dilakukan apabila program tahunan dan jangka menengahnya betul-betul sesuai temanya :  “Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”. Persoalannya adalah apakah program-program prioritas lainnya terkoneksi dengan baik dengan program bansos? Kita semua juga faham evaluasi tidak bisa dilakukan secara sepotong-sepotong dengan hanya melihat program bansos secara khusus.

Program BLT mungkin memang tepat untuk jangka pendek dan bersifat sementara saja, namun BLT tidak tepat kalau menjadi jurus yang terus menerus dalam menghadapi krisis. Beresiko terjadinya moral hazard ataupun adverse selection dalam pengelolaan sasarannya.

Moral hazard terjadi ketika masyarakat miskin menjadi tergantung kepada BLT dan mereka menjadi terbiasa dengan tangan dibawah sehingga mengakibatkan sifat malas dan justru memperlemah etos kerja serta menjadi konsumtif. Sementara itu, adverse selection nampak dari adanya kesalahan target, bahwa yang seharusnya layak menerima BLT justru tidak menerima, dan yang seharusnya menerima BLT bahkan tidak menerimanya.

Kesalahan target dalam BLT ini dapat disebabkan karena berbagai faktor, seperti: data belum dimutakhirkan. Selain itu program bansos dapat menghadapi persoalan tidak tepat waktu karena berbagai kendala dalam administrasi ataupun pelaksanaan distribusi bantuan. Dengan demikian bantuan sosial termasuk BLT di satu sisi bermanfaat sebagai bantalan krisis, namun di sisi lain dihadapkan pada masalah mistargeting dan moral hazard, serta lambat laun dapat membentuk budaya “tangan dibawah lebih baik dari pada tangan di atas”. Masyarakat miskin harus diberdayakan dan diperkuat martabatnya dengan memberikan kail dan bukan memberikan ikan terus menerus.

Mengingat masih banyaknya persoalan yang dihadapi dalam program perlinsos dan sifat permasalahannya yang lintas sektor, lintas wilayah, dan multi dimensi, maka keberhasilan kebijakan perlinsos atau katakanlah bansos secara umum akan sangat tergantung kepada bagaimana keberhasilan kebijakan dan program-program sektor di luar perlindungan sosial seperti: pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur.  Revolusi Mental dan pembangunan kebudayaan, serta program-program lainnya. Pembangunan infrastruktur yang mampu menjadi konektivitas persatuan dan kesatuan nasional di segala bidang, tidak hanya sekedar pembangunan fisik yang menguntungkan para pemilik modal.

Ringkasnya, reformasi sistem perlindungan sosial harus menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan sehingga semakin memperkokoh Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.Reformasi Sistem Perlindungan Sosial selain ditujukan untuk memperkuat bantalan ekonomi bila terjadi krisis (sebagai shocks absorber), juga sebagai akselerator (percepatan) penghapusan kemiskinan ekstrem.

Rekomendasi Kebijakan

Dalam rangka semakin memperbaiki dan menyempurnakan langkah penanggulangan kemiskinan, perlu direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, system perlindungan sosial termasuk program penanggulangan kemiskinan yang lebih sustainable.  harus dibangun sinergikan kebijakan dan program perlinsos dengan kebijakan dan program sektor. Gotong-royong dengan melibatkan birokrasi pusat dan daerah, dunia pendidikan, komunitas agama, organisasi sosial kemasyarakatan, para filantrofi, masyarakat adat, dunia usaha, dan masyarakat luas. Pentingnya political will dari lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif untuk menjaga agar tidak terjadi kebocoran- ataupun aktivitas pemburu rente. Pengawalan mulai dari perencanaan dan penganggaran sampai pelaksanaan kebijakan dan program dan adanya penegakan hukum.

Kedua, penyempurnaan system perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai dengan tiga ranah pembangunan, yaitu Tata-Nilai, Tata-Kelola, dan Tata-Sejahtera. Tata Nilai menekankan pentingnya penguatan mental-kultural bangsa, mental kultural seluruh rakyat, terutama para penyelenggara negara dengan terus memperkuat pembangunan bangsa dan karakter. Dalam ranah ini upaya harus terus dilakukan agar nilai-nilai Pancasila benar-benar dijiwai oleh seluruh komponen bangsa.

Tata Kelola memfokuskan kepada perbaikan di bidang perencanaan dan penganggaran, perbaikan data, kerjasama (koordinasi) kelembagaan, serta pelaksanaan program yang akuntabel dan berkelanjutan, termasuk pemantauan dan evaluasinya. Sistem basis data terpadu dan koordinasi melalui lembaga-lembaga yang sudah ada perlu dioptimalkan.

Tata Sejahtera lebih difokuskan untuk mendorong pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna bagi masyarakat miskin dan rentan serta untuk menambah nilai tambah yang mereka nikmati. Pembenahan di ranah Tata Sejahtera pada akhirnya akan mewujudkan kehidupan yang lebih baik secara individu maupun kelompok masyarakat.

Ketiga, pendekatan kebijakan dan program yang cenderung bersifat konsumtif harus dilakukan seminimal mungkin, dan betul-betul dirancang graduasinya secara baik. Pendekatan yang lebih menekankan peningkatan produktivitas masyarakat miskin harus mampu menolong dirinya sendiri (prinsip self-help) tidak bergantung kepada bansos.

Keempat, libatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan dan program perlinsos untuk meminimumkan kesempatan terjadinya korupsi ataupun kebocoran-kebocoran mulai perencanaan dan poenganggaran sampai pelaksanaan. Dengan demikian perlu dibangun system perlinsos yang transparan dan akuntabel, serta senantiasa menjaga good governance.

Kelima, semaksimal mungkin harus dipersiapkan pendamping dengan jumlah dan kualitas yang memadai, sehingga mempunyai kompetensi dan kapasitas yang memadai baik secara ideologis (mental-kultural) maupun mampu secara teknis manajerial ataupun teknis sektoral masing-masing.

Keenam, lingkungan yang kondusif harus terus diperkuat (ada affirmative policy) melalui pemberian kesempatan atau akses yang adil kepada masyarakat miskin dan rentan terhadap ketersediaan modal, akses pasar, maupun akses terhadap informasi.

Ketujuh, penyempurnaan system perlindungan sosial utamanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan rentan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Pendekatan produktivitas yang dilakukan harus menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Semaksimal mungkin memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar graduasi masyarakat miskin dan rentan dapat terealisir dengan baik dan semakin memperkuatr persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu pemberdayaan ekonomi rakyat dilakukan dalam satu kerangka yang utuh dan terintegrasi dengan pembangunan manusia dan kebudayaan.

Dengan demikian pemberdayaan ekonomi rakyat sekaligus akan membangun kesadaran kewargaan akan hak dan kewajiban sebagai warga negara berbasis Pancasila, kesadaran akan lingkungannya, serta kemampuan kewirausahaan. Pada akhirnya penyempurnaan system perlindungan sosial juga semakin memperkokoh pembangunan bangsa dan karakter (nation and character building) serta ketahanan ekonomi rakyat.

Pendekatan produktivitas dan people centered dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, penguatan sinergi lintas sektor dan wilayah dalam penyempurnaan system perlindungan sosial berbasis Pancasila ini harus selalu dijaga dan terus dikembangkan dengan payung besar pembangunan nasional mampu mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Jangan sampai jurus BLT terus digunakan untuk menghadapi krisis di masa depan, padahal hanya mengobati symptom penyakit kemiskinan.

Jakarta, 11 September 2022

Penulis : Prasetijono Widjojo MJ

Pusat Studi Kebijakan Nasional Indonesia

banner 120x600

Tinggalkan Balasan