Papua Freeport Dari Soekarno Hingga Jokowi

Papua Dalam Ingatan

banner iklan 468x60

Bumi Papua dahulu bernama Nugini, wilayahnya meliputi daratan berbentuk burung Cendrawasih. Potensi SDA yang fantastis menjadikan wilayah Papua menjadi perebutan 6 negara besar.

Spanyol, Inggris, Jerman, Australia, Belanda dan Amerika. Spanyol menjadi negara pertama yang menemukan pulau Papua, disusul Jerman dan Inggris yang berhasil membentuk pemerintahan di wilayah “ekor burung” yang kemudian menjadi negara Papua New Guinea.

Negara Eropa lain menyusul melakukan invasi ke pulau tersebut, salah satunya Belanda yang menguasai wilayah barat Papua dari kepala burung hingga wilayah tengah. Kekalahan Belanda pada perang Kemerdekaan Indonesia mengharuskannya hengkang dari bumi Papua. Presiden Soekarno dalam operasi pembebasan Irian Barat berhasil menyatukan wilayah bekas jajahan Belanda itu ke pangkuan Indonesia.

Penyerahan wilayah Irian barat oleh Belanda yang “setengah hati” itu tidak lantas Indonesia sepenuhnya menguasai. Konflik Soekarno dengan Amerika selepas terbunuhnya John F Kenedy menyiratkan sebuah skenario besar dari Belanda yang notabene adalah sekutu Amerika. Penemuan gunung emas oleh ahli geologi Belanda Jean Jacques Dozy yang bocor di telinga Amerika membuat Indonesia menjadi target penguasaan SDA oleh Eropa. Alhasil Soekarno yang paham potensi Papua lebih dari yang mereka bayangkan, harus mengalami kudeta berdarah di tahun 1965. Sukarno jatuh, Suharto dan Amerika bersepakat membangun Indonesia lengkap dengan kompensasi gunung emas terbesar di dunia.

Penduduk Papua/Nugini/Irian sudah merasakan terombang-ambing nasibnya oleh konflik perebutan kekuasaan pada akhirnya memutuskan berupaya merdeka. Dalam perjalanan waktu Amerika tidak puas dengan Freeport yang telah dikeruk hingga menjadi negara adi daya. Wilayah Papua harus merdeka dari Indonesia atas bantuan Amerika dan sekutunya.

Jadi selama masih ada Freeport Amerika di Papua, selama itulah rakyat Papua akan menuntut kemerdekaan. Rezim Orde Baru hanya sekedar membasmi gerakan separatisme yang seolah-olah mengganggu Freeport, namun tak berdaya menghentikan asupan senjata berlabel NATO nya Amerika. OPM menjadi duri dalam daging namun tak kuasa terobati.

Jokowi punya strategi berbeda dalam melihat kemelut abadi di Papua. Pembangunan infrastruktur dikebut seiring perjuangan diplomasi divestasi Freeport. Infrastruktur untuk rakyat Papua, sedangkan divestasi Freeport untuk penegasan kedaulatan negara terhadap “kepemilikan” Papua. Secara tersirat Jokowi ingin mengatakan, tambang emas boleh sebagian milik Amerika, tapi Infrastruktur dan rakyat Papua milik Indonesia.

Hingga akhirnya membasmi OPM dan KKB didikan Amerika menjadi lebih mudah, karena Jokowi punya legitimasi kuat di rakyat Papua. OPM dan KKB sudah tidak didukung oleh warganya sendiri, tinggal menunggu habisnya peluru sisa kiriman NATO yang mulai menipis. Mereka akan redup dengan sendirinya tanpa harus menunggu operasi militer. Pemerintah Jokowi sengaja tidak ingin memulai pembersihan OPM yang akan berimbas konflik kemanusiaan “pancingan” rekayasa Amerika.

Fenomena provokasi Rasis yang sedang memanas bukan sebuah kebetulan. Skenario pemecah belah sekaligus delegitimasi Pemerintah yang sah disusun dengan rapi. Bukan dari rapat rahasia di markas Ormas anti Pemerintah, atau lobby politikus intelejen oposisi yang gagal menghadang Jokowi 2 periode. Tetapi sebuah strategi masif berstandar internasional dirancang terkait benang merah “dicaploknya” 51% saham Freeport oleh Jokowi.

Strategi politik identitas yang diharapkan sukses membuat chaos Indonesia, gagal total berkat gerakan Nasionalis cinta tanah air tanpa membedakan SARA. Patriotisme yang menjadi pertahanan terakhir bangsa ini berhasil menyurutkan gejolak politik identitas berbaju agama. Pilpres 2019 menjadi bukti sah bertahannya NKRI dalam kerangka Kebhinekaan dari Sabang Merauke. Dan Jokowi sudah setengah jalan menyelamatkan Papua dari Freeport.

Kini giliran Patriotisme dan Nasionalisme menjadi sasaran utama membelah Indonesia. Dan bumi Papua yang belum selesai dengan Nasionalismenya menjadi pintu masuk asing memerangi Indonesia. Cukong-cukong Freeport bersatu dengan OPM yang bekerja sama dengan ormas anti NKRI menjadikan warga Papua marah pada siapa saja yang ditemuinya. Tinggal kita berhitung, apakah pihak yang sengaja memanaskan situasi sudah lebih banyak daripada pihak yang berusaha meredam. Itulah ukuran Freeport Effect sukses meluluh lantakkan negeri bernama NKRI.

Pahami Papua bukan hari ini saja. Bukan pula euforia pemberitaan media. Sejarah penggulingan Soekarno tidak boleh terulang!!
Catat!!

Penulis : Dahono Prasetyo

banner 120x600

Tinggalkan Balasan