Singapore Negara kecil minim SDA namun sarat Sumber Daya Manusia dari berbagai penjuru. Kemampuan pemerintah Singapore mengelola transaksi jasa keuangan menjadikan negara tersebut memiliki jaringan strategis seluruh dunia. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan bankir Indonesia, bahwa transaksi keuangan dan perdagangan dengan mata uang asing dari penjuru dunia menuju Indonesia untuk menjadi bentuk rupiah mesti landing di negara kecil tersebut. Sistem keuangan Singapore terbukti lebih dipercaya dijadikan “halte” oleh sistem perbankan dunia sebelum menuju “terminal” akhir ke negara manapun tak terkecuali Indonesia.
Singapore menjadi tempat paling efektif menyimpan, menyembunyikan kalau perlu mencuci “uang haram” dari Indonesia sudah bukan barang baru. Yang paling fenomenal kita kenal Mega skandal BLBI. Dampak krisis Moneter 1997 mengakibatkan 48 Bank mengalami kolaps karena para nasabah menarik uangnya secara besar besaran secara bersamaan. Transaksi bank macet dan Negara terpaksa mengucurkan dana talangan dengan skema BLBI sebesar Rp 144,53 triliun. Apa yang kemudian terjadi, setelah menerima dana lalu bank-bank swasta tersebut sebagian besar tutup hanya menyisakan asset dengan nilai jauh di bawah bantuan BLBI yang dikucurkan.
Catatan pentingnya, saat krisis moneter ratusan pengusaha kaburnya ke Singapore setelah sebelumnya menarik uangnya dari Bank swasta di Indonesia. Begitu pula pemilik bank swasta yang tutup setelah mendapat pinjaman dana BLBI, kaburnya tidak jauh-jauh hanya menyeberang selat Malaka.
Pemilik Bank swasta yang masih bertahan tidak kalah liciknya. Mereka tetap beroperasi dengan kewajiban membayar pinjaman kepada pemerintah, setelahnya baru mendapat SKL( Surat Keterangan Lunas) dari BPPN. Pada 2004 pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim berhasil mendapatkan SKL. Namun, setelah diusut ditemukan dugaan kerja sama antara Sjamsul dengan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Kerugian Negara akibat kolusi itu mencapai Rp 4,5 triliun. Syafruddin divonis 15 tahun penjara tahun 2018 sedangkan Sjamsul Nursalim kabur ke Singapore tahun 2019 dan berstatus DPO KPK.
Meskipun berstatus buron, “kesaktian” Sjamsul Nursalim yang bersembunyi di Singapore masih terbilang ampuh. Pada Maret 2021 lalu status DPO-nya dicabut oleh KPK dengan alasan Sjamsul telah membayar hutang kepada Negara sebesar Rp 517,72 miliar. Entah logika apa yang digunakan KPK saat Sjamsul mengeruk uang negara Rp 4,5 triliun, baru dibayar setengah triliun langsung terbebas dari tuntutan?
Singapore tidak hanya menjadi surga persembunyian bagi para koruptor kelas kakap, tetapi tempat perselingkuhan para koruptor yang kemudian melahirkan koruptor baru. Keseriusan aparat Kejaksaan Agung berniat menjemput paksa para DPO ke Singapore butuh dukungan publik yang masih percaya dengan kinerja Kejaksaan. Mempersilahkan KPK mengurus OTT para pejabat sedangkan Jaksa Agung memburu penjahat kerah putihnya.
Dalam prespektif pemerintah Singapore, Indonesia masih sama seperti era orde baru, hanya berganti Presiden namun kaki tangannya tetap sama. Para oknum pejabat tetap tak berdaya di tangan para konglomerat berduit.
Penulis : Dahono Prasetyo