Tahun 1920 di masa penjajahan Belanda, Bung Karno menemukan simbol seorang rakyatnya sedang dalam kondisi tertindas. Bumi, alam dan kekayaan yang melimpah tidak menjadikannya sejahtera. Kaum Marhaen, Bung Karno menyebutnya.
Penjajahan yang menjadi anak kandung kapitalis membuat sumber daya manusia (rakyat) hanya menjadi mesin produksi. Mereka yang memang tersistem hidupnya hanya untuk makan. Penindasan butuh kesadaran sedang tertindas, selanjutnya bangkit memerdekakan diri sendiri. Bung Karno telah menuliskannya, mewariskannya : Marhaen, Marhaenis, Marhaenisme
Hari ini di tahun 2023, 78 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, 103 tahun setelah Bung Karno bertemu Marhaen. Kita masih menemukan kaum Marhaen diantara belantara beton pencakar langit dan hutan angka-angka. Mereka yang bertahan hidup mengais rejeki sisa pesta kaum kapitalis.
Bung Karno tidak salah mengatakan : “Perjuanganmu lebih berat daripada perjuanganku”
Kita yang berjuang menghadapi neo kapitalis dan neo kolonialis berwujud saudara kita sendiri
Mereka yang kini berbaju Pejabat, Politikus bahkan Agama yang menindas Neo Marhaen. Kemanakah para Marhaenis yang selama ini memperjuangkan para marhaen?
Sebagian mereka sedang menjual Marhaenisme dan Bung Karno untuk biaya merebut kekuasaan. Sebagian lagi menyerah berjuang dalam kesendirian. Hanya menyisakan sebagian kecil Marhaenis-Marhaenis yang setia menyuarakan kegelisahan, mengingatkan hakekat sejarah sambil sesekali menggores catatan sejarah bahwa : Revolusi kaum Marhaen belum usai
Penulis : D. Prasetyo