Ketua Umum PMN : Saat Petani Tertindas Dan Menjerit, Bolehkah Meminta Tolong Menteri BUMN Erick Thohir?

Suara Marhaenis

banner iklan 468x60

Bumi Nusantara sejak dahulu dikenal sebagai negara agraris. Salah satu faktornya letak geografis yang sangat aduhai, tempat dimana curah hujan mengguyur sepanjang tahun sehingga membuat permukaan tanah mempunyai kualitas kesuburan tinggi. Siap untuk menumbuhtunaskan segala biji-bijian dan tanaman apapun yang di taburkan. Ditambah lagi wilayah Nusantara dibelah oleh garis Katulistiwa sehingga setiap hari mendapatkan spektrum sinar matahari yang lebih dari cukup  untuk menambah segala tumbuhan bisa dengan riangnya untuk berfotosintesis.

Tak salah legenda musik Koes Plus yang mensyairkan : ‘’Tanah kita tanah surge, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ‘’ begitulah ilustrasi tentang Nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tersebar ribuan pulau, aneka satwa dan floranya, begitu pula kandungan yang ada di dalam bumi dan lautnya.

Dalam karunia Tuhan yang begitu besar dan hampir mendekati sempurna,  masih banyak masyarakatnya mengalami kekurangan dalam kehidupan ekonominya terutama para Petani. Ketika kita mencoba melihat hirarki, ada beberapa faktor penyebabnya yaitu: Penguasaan atas lahan, faktor kerusakan ekosistem dan ketidak berdayaan penyelenggara negara ini menghadapi kekuatan pasar bebas.

Terkait penguasaan, data lahan petani yang semakin tergerus mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan : Petani di era 1960an masih menguasai lahan hingga 1,1 ha. Jumlah itu kemudian turun menjadi 0,8 ha pada periode 2000an. Melansir data BPS per 2018, menghitung luas lahan rata-rata kepemilikan petani mengerucut menjadi 0,5 ha.

Lebih detil lagi dari penguasaan 0,5 ha ada 60% petani yang hanya menguasai lahan seluas 1.000 m2 atau sekitar 0,1 ha. Jadi bisa dibayangkan, bahwa seiring dengan perjalanan bangsa dan digembor-gemborkannya pembangunan di Indonesia, tetapi ternyata penguasaan lahan kita semakin menurun.

Adapun masalah utama yang dihadapi petani kita yaitu rendahnya menejemen, tidak adanya pengarahan kongktrit di masa lalu atas tata kelola lahan. Yang kemudian terjadi kepemilikan lahan sebagian besar tidak bisa bertambah dan cenderung menurun dari generasi ke generasi akibat dibagi-bagi untuk anak dan keturunanya. Ditambah lagi pengaruh kapitalisme yang selalu memberikan iming-iming segala bentuk barang bersifatnya sekunder hingga tersier membentuk pola hidup konsumtif. Tidak sedikit para petani melepaskan asetnya untuk ditukar dengan kebutuhan tuntutan zaman.

Berikutnya adalah faktor kondisi kerusakan ekosistem. Berbagai gangguan baik dari hewan dan tumbuhan yang diakibatkan tidak simbangnya rantai pasokan makanan ekosistem di alam. Pada posisi ini semakin lama jumlah petani nusantara akan semakin menurun begitu pula lahannya. Penderitaan belum cukup sampai di situ dengan keterbatasan sisa lahan dengan terpaksa bertahan menggunakan segala cara untuk mengejar produktivitas.

Salah satunya dengan memperkosa lahan, pemberian pupuk-pupuk serta pengunaan segala pestisida yang berlebihan. Pada kenyataanya sangat berbeda alih-alih petani mendapatkan impian pencapaian, tapi yang terjadi dalam jangka pendek justru terjerumus pada situasi yang sangat buruk. Material berupa pupuk sebagai alat pemerkosa lahan menjadi sangat langka atau harganya mahal . Penguasaan penyaluran pupuk sebagaian besar dilakukan oleh kelompok tertentu yang di dalamnya sebagaian juga merupakan tengkulak dan renteneir Lengkaplah sudah penderitaan petani dari. Impian dan harapan besar untuk bisa sejahtera semakin menjauh, berangsur-angsur terjepit dilema yang berkepanjangan.

Dari sisi yang berbeda dalam rangka merespon issu pangan global pemerintah konon membangun Food Estate. Tidak ada yang salah dengan program itu, tapi juga tidak terlalu tepat karena dari proyek tersebut siapa yang diuntungkan ? Apakah mereka harus down grade dari profesi petani, turun jadi buruh tani? Catatan pentingnya pemilik dan pengelola food estate adalah ujung-ujungnya bagian dari oligarki kapitalis berwajah pengusaha.

Menurut Bung Karno Petani menjadi landasan pemikiran Marhaenisme . Dengan dominannya profesi petani pada era perjuangan menuju kemerdekaan, mustahi Bung Karno melawan penjajah dengan hanya mengandalkan pemikiran revolusioner berbasis pada buruh.  Petani menjadi tulang punggung bagi identitas Indonesia dan Bung Karno menyebut :  Petani  sebagai Penjaga Tatanan Negara Indonesia. Hal itu disampaikan Bung Karno pada tahun 1952. Sejak saat itu petani menjadi penjaga ketahanan pangan dan kesetabilan nasional. Tantanganya adalah bagaimana bangsa ini bisa mendesain jatidirinya kembali menjadi bangsa agraris, bisa berdikari. Merdeka dari segala bentuk penghisapan dan investasi pemodal yang menggerogoti sendi-sendi pertanian Nusantara

Sudah saatnya Menteri BUMN Erick Thohir berpikir tentang kebijakan lebih membumi lagi. Tentang nasib petani yang masih banyak dijajah oleh kepentingan pengusaha yang berujung kepada BUMN juga. Bersih-bersih BUMN penting, meski itu belum menyentuh urusan hilir bernama Petani.

Bumi Majapahit 15 September 2022

Heru Subiyantoro – Ketua Umum Pejuang Marhaenis Nusantara

banner 120x600

Tinggalkan Balasan