Putri Herlina namanya. Perempuan muda, cantik, cerdas, berkemauan keras. Sejak kecil mengerjakan segala sesuatu dengan kedua kakinya. Sejak berumur hitungan minggu, dia sudah ditinggalkan orang tuanya di Rumah Sakit setelah mengetahui kedua tangannya tak tumbuh.
Atas inisiatif Yayasan Sayap Ibu, Putri yang mungil dibesarkan lebih dari satu tangan yang ikhlas mengasuhnya. Yayasan Sosial memang banyak pengasuh keluar masuk dalam membantu anak berkebutuhan khusus atau difabel. Namun yang paling berjasa bagi Putri adalah Ibu Naryo, salah satu pengasuh tetap di yayasan itu.
Mendidiknya menjadi manusia mandiri di atas keterbatasan fisik bukan perkara mudah. Butuh empati ke dua belah fihak. Putri-pun tumbuh menjadi perempuan berkemauan keras dan berkepribadian kuat. Selepas SMA Putri menjadi relawan di Yayasan yang telah membesarkannya. Mengasuh anak anak senasibnya, mengajarinya kemandirian tidak hanya dengan kata kata. Dalam suatu wawancara Putri menyampaikan cita citanya yang cukup sederhana.
“Sudah 23 tahun aku disini. Ingin rasanya untuk segera bisa mandiri sepenuhnya. Aku ingin punya suami normal, yang mau menerima kondisiku seperti ini. Mendidik anak anakku kelak bisa lebih baik dari yang aku bisa”
Dan Tuhan-pun mengabulkan cita cita polosnya. Adalah Reza Hilyard Somantri, seorang pria normal anak mantan Deputi Gubernur BI Maman Husein Somantri, yang dengan ketulusannya melamar Putri menjadi istrinya. Layaknya kisah negeri dongeng, peristiwa resepsi pernikahan tahun 2013 waktu itu begitu mengharu biru siapapun yang menghadirinya. Wartawan dalam dan luar negeri memburunya menjadi berita istimewa yang inspiratif.
Baca Juga https://suluhnusantaranews.com/seberapa-besar-inpirasi-kita-dari-para-difabel/
Dan di sebuah kawasan perbukitan. Tepatnya Desa Nasal Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu, beberapa puluh anak SD tekun melaksanakan upacara bendera yang tiangnya terbuat dari bambu. Lokasi sekolah yang berada di tengah perkebunan Karet dan Kopi memaksa mereka menempuh perjalanan naik turun bukit setiap hari. Siswa terlambat ke sekolah sudah menjadi pemandangan biasa di ruang kelas yang terbuat dari kayu.
Kaki anak 7 – 12 tahun mendaki jalan setapak menuju sekolah tidaklah sekuat kaki orang dewasa. Setiap 500 meter mereka berhenti mengistirahatkan kaki dan mengatur nafasnya.
“Permasalahan kondisi geografis menjadi kendala kami. Pihak pemerintah sudah mendirikan sekolah yang lebih layak di bawah (kecamatan ). Namun anak anak lebih memilih bersekolah di sini, karena jaraknya lebih dekat meskipun harus naik turun bukit.” begitulah penjelasan Ibu Rusti sang Kepala Sekolah asli Jawa Timur yang sudah 20 tahun menjadi transmigran di desa itu.
“Tugas kami yang paling berat adalah mempertahankan semangat belajar mereka, dan Alhamdulillah sekolah ini tiap tahun 15-20 anak lulus Sekolah Dasar” lanjut wanita berusia kepala 4 itu sedikit menyembunyikan kebanggaannya.
Bahwa mereka para difabel, yang menurut definisinya adalah orang atau kelompok berkebutuhan khusus, baik karena keterbatasan fisik maupun kondisi lingkungan yang pada akhirnya membutuhkan penanganan/perhatian khusus oleh orang/pihak lain. Difabel bukan hanya untuk kaum cacat. Bahkan seorang tuna wisma dan tuna susila-pun termasuk kategori difabel.
Perhatian kita adalah penyemangat usaha melanjutkan kehidupan mereka menuju ke arah yang lebih baik. Mereka bisa mandiri dan merasa tidak sendiri dan tak jarang menginspirasi kita yang dikaruniai kesempurnaan kondisi.
Jadi ketika ada 40 orang normal sedang putus asa, tanpa kita sadari ada 400 orang difabel sedang optimis menatap hidupnya. Celakanya ada sebagian orang normal yang justru hidupnya pesimis dan tak lagi punya rasa malu. Maka difabel-lah mental dia.