Guru Untung, begitulah masyarakat Sumenep Madura menyebutnya. Kedua tangannya tidak tumbuh normal sejak lahir. Kini di usianya yang ke berkepala lima, dia menjalani hidup penuh hikmahnya sebagai Guru di Sekolah Madrasah Miftahul Ulum Kecamatan Batang-Batang Sumenep, Madura.
Sebuah profesi yang sungguh mulia ditengah kekurangan fisik yang tidak sempurna, namun justru menjadi kelebihan yang luar biasa. Dedikasinya mencerdaskan anak bangsa dipahaminya sebagai bentuk ibadah. Keteguhan dan kemandirian hatinya menginspirasi bagi banyak murid dan rekan seprofesinya. Dengan kaki kanannya dia menulis pelajaran di papan tulis layaknya tangan seorang guru normal.
Keyboard laptop dengan lincah dioperasikannya dengan jari jari kaki yang menurutnya sebuah anugrah luar biasa. Pendidikan Agama Islam adalah mata pelajaran yang dikuasainya. Murid murid MI dan MTs didikannya begitu menyayanginya, sebesar rasa cinta mereka pada pelajaran Al-Quran Hadis dan Fiqih yang diajarkan guru Untung ramah dan murah senyum.
Mereka mendapat kedalaman makna yang lebih ketika pelajaran akhlak itu disampaikan oleh seorang cacat fisik. Siapapun pasti akan iri. Mendapat penghargaan Madrasah Award dan Apresiasi Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (ADIKTIS) 2021 kategori Unsur Masyarakat Peduli Madrasah dari Dirjen Pendidikan Islam Kemendiknas pada acara yang dipusatkan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (10/12/2021).
Guru Untung tidak serta merta datang tiba-tiba menjadi sosok inspirasi dari salah satu sudut Nusantara. Dia berproses luar biasa keras, bagaimana dalam keterbatasan fisik tak selalu bergantung kepada orang normal, justru mampu bermanfaat bagi orang lain. Dari cara menulis dengan menggunakan kaki ternyata menghasilkan keindahan tersendiri.
“Selain mengajar, saya sering dimintain tolong menulis ijasah, sertifikat dan kadang hiasan Kaligrafi. Kata orang orang tulisan kaki saya halus dan rapi” kata Guru Untung polos tak sedikitpun terkesan sombong.
“Tuhan Maha Adil, dibalik kekurangan fisik saya, Tuhan memberi saya banyak kelebihan. Sudah sewajarnya kelebihan itu wajib saya bagi untuk siapapun” kata Guru Untung menjelaskan filosofi hidupnya yang sederhana namun sarat makna.
Dan di sebuah kawasan perbukitan. Tepatnya Desa Nasal Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu, beberapa puluh anak SD tekun melaksanakan upacara bendera yang tiangnya terbuat dari bambu. Lokasi sekolah yang berada di tengah perkebunan Karet dan Kopi memaksa mereka menempuh perjalanan naik turun bukit setiap hari. Siswa terlambat ke sekolah sudah menjadi pemandangan biasa di ruang kelas yang terbuat dari kayu.
Kaki anak 7 – 12 tahun mendaki jalan setapak menuju sekolah tidaklah sekuat kaki orang dewasa. Setiap 500 meter mereka berhenti mengistirahatkan kaki dan mengatur nafasnya.
“Permasalahan kondisi geografis menjadi kendala kami. Pihak pemerintah sudah mendirikan sekolah yang lebih layak di bawah (kecamatan ). Namun anak anak lebih memilih bersekolah di sini, karena jaraknya lebih dekat meskipun harus naik turun bukit.” begitulah penjelasan Ibu Rusti sang Kepala Sekolah asli Jawa Timur yang sudah 20 tahun menjadi transmigran di desa itu.
“Tugas kami yang paling berat adalah mempertahankan semangat belajar mereka, dan Alhamdulillah sekolah ini tiap tahun 15-20 anak lulus Sekolah Dasar” lanjut wanita berusia kepala 4 itu sedikit menyembunyikan kebanggaannya.
Bahwa mereka para difabel, yang menurut definisinya adalah orang atau kelompok berkebutuhan khusus, baik karena keterbatasan fisik maupun kondisi lingkungan yang pada akhirnya membutuhkan penanganan/perhatian khusus oleh orang/pihak lain. Difabel bukan hanya untuk kaum cacat. Bahkan seorang tuna wisma dan tuna susila-pun termasuk kategori difabel.
Perhatian kita adalah penyemangat usaha melanjutkan kehidupan mereka menuju ke arah yang lebih baik. Mereka bisa mandiri dan merasa tidak sendiri dan tak jarang menginspirasi kita yang dikaruniai kesempurnaan kondisi.
Jadi ketika ada 40 orang normal sedang putus asa, tanpa kita sadari ada 400 orang difabel sedang optimis menatap hidupnya. Celakanya ada sebagian orang normal yang justru hidupnya pesimis dan tak lagi punya rasa malu. Maka difabel-lah mental dia.
Reporte SN – dari berbagai sumber