Proyek eKTP ada berdasarkan UU dan Kepres era SBY berkuasa. Jadi ini proyek nasional dan merupakan amanah UU. Itu sebabnya Mendagri berusaha untuk merealisasikan proyek ini. Hanya masalahnya untuk mendapatkan persetujuan DPR tidak mudah. Apalagi proyek melibatkan dana triliunan.
Awalnya dalam rapat dengan komisi II DPR, diusulkan dana itu tidak berasal dari APBN rupiah murni tapi dari PHLN (Pinjaman dan Hibah Luar Negeri). Namun Mendagri merasa tidak yakin akan mendapatkan sumber dana tersebut. Pengalaman untuk mendapatkan dana PHLN tidak ada.
Sekitar awal bulan Februari 2010, setelah mengikuti rapat pembahasan anggaran Kementerian Dalam Negeri, Irman ( Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil ) dimintai sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu yang merupakan ketua Komisi II DPR RI dari Partai Golkar agar usulan Kemendagri dapat segera disetujui oleh DPR dengan anggaran dari APBN murni.
Namun Irman tidak punya uang. Dia menghubungi rekanan Mendagri, yang bernama Andi Narogong. Andi menyanggupi tapi dengan syarat dia harus ketemu langsung dengan Ketua faraksi DPR untuk memastikan proyek E-KTP itu aman di bawah kendalinya. Sebelum anggaran e-KTP dibahas, Andi menemui Bendum Partai Demokrat Nazaruddin agar bisa dimediasi bertemu dengan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto.
Nazaruddin tidak terlibat soal tekhnis. Tugasnya hanya sebatas mempertemukan Andi dengan Ketua Fraksi. Kemudian Andi mempertemukan pejabat Mendagri dengan Setya Novanto secara informal di Hotel Mulia. Saat itu yang hadir Andi Novianto, Sugiharto (Terdakwa II yang pada proyek e-KTP berstatus sebagai Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan) dan juga serta Irman.
Setya Novanto minta semua pihak sama sama menjaga proyek E-KTP tersebut. Ketika itu uang suap sudah mulai ditebar oleh Andi Narogong. Pengawal proyek ini ada pada Partai Demokrat dan GOLKAR. Pembahasan anggaran itu pun mencapai konklusi dengan menggunakan uang negara sebesar Rp 5,9 triliun.
Pada tanggal 8 April 2011, panitia pengadaan menerima delapan dokumen penawaran dari Konsorsium Berca Link JST, Konsorsium Lintas Peruri Solusi, Konsorsium PNRI, Konsorsium Mukarabi Sejahtera, Konsorsium Mega Global Jaya Grafica Cipta, Konsorsium PT Telkom, Konsorsium PT Astra Graphia dan Konsorsium Transtel Universal. Sampai dengan batas akhir waktu evaluasi pemasukan penawaran, Konsorsium PNRI dan Astra Graphia yang dibawa Andi tidak dapat melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001.
Karenanya walau tidak memenui syarat, hal tersebut bukanlah halangan. Andi meminta kepada Irman dan Sugiharto, memerintahkan Tim teknis yang diketuai oleh Husni Fahmi, Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT memberi perhatian khusus pada tiga konsorsium yang dibawa Andi agar lolos verifikasi, dan terbukti panitia pengadaan memasukan nama mereka di delapan konsorsium yang lulus. Untuk memperlancar penetapan pemenang lelang, Andi Narogong akhirnya memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya Azmin Aulia sejumlah USD 2,5 juta.
Akhirnya pada tanggal 21 Juni 2011 Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang. Menurut Johanes Richard Tanjaya alias Johanes Tan, salah satu anggota konsorsiurm PNRI adalah PT Murakabi Sejahtera yang dimiliki oleh Setya Novanto.
Sayang dalam perjalanannya, konsorsium itu tak dapat memenuhi target. Pada Maret 2012 masih ada 65.340.367 blanko e-KTP yang belum terealisasi senilai Rp 1.045.445.868.749. Apa sebabnya?
PT Sandipala Arthaputra ( Paulus ) –yang tergabung dalam Konsorsium PNRI, di haruskan oleh Dirut PNRI ( Isnu ) membeli dua merk chip untuk E-KTP, yaitu NXP Semiconductor dan ST Microchip. Lantaran pembelian NXP harus melalui L/C, sedangkan ST Micro dapat dengan cara membayar DP, maka Paulus memutuskan untuk membeli chip ST Micro, yang di ageni oleh Oxel System Ltd, yang dimiliki Andi Winata -anak taipan Tommy Winata.
Paulus lalu membeli 100 juta chip ST Micro. Masalah berawal dari sini. Saat 5 juta chip pertama tiba, seluruhnya tak bisa digunakan saat diuji coba di E-KTP. Pasalnya Oxel menyerahkan chip STMicro tipe ST23YR18, bukan tipe ST23YR12 seperti permintaan PT Sandipala. Software yang dikirimkan bersamaan dengan chip itu, adalah software yang dipakai untuk pembuatan SIM, jadi bagaimana bisa dipakai untuk e-KTP?
Ketua tim teknis proyek e-KTP, Husni Fahmi, mengatakan chip yang terlanjur didatangkan Oxel bisa digunakan asalkan menggunakan patch yang sesuai. Artinya, harus ada komponen tambahan. Paulus kemudian mengontak Andi Winata, meminta komponen patch itu. Tapi Andi Winata tak mau menyediakan komponen patch jika tak ada kontrak jual-beli. Andi Winata menganggap pesanan 100 juta modul chip sudah dilaksanakan dan tak bisa dibatalkan. Akhirnya kasus ini masuk ke pengadilan niaga. Proyek EKTP jadi stuck akibat kasus ini, udah dibayar tapi software engga bisa dipakai.
Gamawan kemudian mengajukan anggaran tambahan ke APBN-P 2012, yang kemudian tak langsung disetujui DPR. Uang pelicin pun diberikan. Akhirnya anggaran itu pun diajukan dalam APBN 2013. Kelebihan dari anggaran itu ditujukan untuk kelanjutan proyek E-KTP.
Andaikan saja tidak ada kasus salah beli software dan Chip, mungkin proyek eKTP tidak akan jadi kasus. Dan pertanyaannya adalah bagaimana mungkin bisa salah beli ? Dan apa betul Oxel System Ltd tidak tahu bahwa CHIP itu untuk E-KTP bukan SIM? . Apalagi keharusan membeli kepada Oxel itu atas perintah dari Dirut PNRI sebagai ketua Konsorsium.
Jadi suap yang beredar untuk DPR, itu tidak ada artinya dibandingkan dengan skema perampokan dana proyek E-KTP ini. Dan itu dilakukan oleh pengusaha, pejabat dan anggota DPR hanya dapat ” uang receh”. Masalahnya lagi apakah berani elite politik berhadapan dengan pengusaha yang juga sumber keuangan mereka?
Penulis: Erizeli Jely Bandaro “Babo”