Pencapaian Nahdlatul Ulama Yang Dilupakan

Retrospeksi Sejarah

banner iklan 468x60

Menurut Kyai Abdul Moqsith Ghazali, sulit bagi orang NU untuk dapat sekedar akses, berada dalam pemerintahan pada level PNS sekalipun. Zaman orde baru, kata beliau, sulit membayangkan seseorang secara terang-terangan mengaku NU dan berada dalam pemerintahan atau lingkaran kekuasaan disaat yang sama. Anda yang mungkin merasakannya bisa menjadi saksi akan hal tersebut. Tentu sekarang jauh berbeda.

Pada masa itu, membayangkan seorang wakil presiden berasal dari  NU pun sangat tidak mungkin. Kendatipun Kyai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU tiga Periode, pernah menjadi presiden melalui lipatan sejarah yang sulit diduga, dalam pusara gonjang-ganjing dan operasi semut merah,–tetap saja  berusia pendek untuk berada tetap di istana merdeka (1999-2001).

Saat itu Gus Dur seringkali menunjuk nama-nama yang ia sebut akan menjadi ‘gelandang politik’ karena telah membuatnya turun secara paksa dan tidak hormat. Saat itu, sebagian  besar orang diluar NU menganggap Gus Dur hanya ‘sakit hati’ karena tidak memiliki bukti-bukti otentik. Begitupun, beberapa kalangan dekat GusDur percaya hal tersebut benar adanya namun hanya menjadi kisah oral (mulut-ke mulut) dan kalangan terbatas saja. Alasannya, tidak ada yang bisa membuktikan hal tersebut.

Seorang peneliti sejarah, tahun 2019 menerbitkan buku yang cukup menggemparkan. Isinya membenarkan ‘operasi semut merah’ yang digalang oleh Golkar.’ Kisah ini ia ceritakan dalam bukunya ‘Menjerat Gus Dur’. Semua ini akibat ketidaksengajaan menemukan dokumen rongsokan di Gedung Golkar. Dalam dokumen tersebut banyak sekali nama-nama ‘HMI.’ Oleh karena hal tersebut, penulis, Virdika menyebutnya ‘HMI Connection.’ Tujuan operasi itu menggulingkan Gus Dur dan menaikan Megawati. Menurut dokumen tersebut, tentu dengan tujuan sama-sama menggulingkannya juga.

Namun sebagai batu loncatan, naiknya Gus Dur menjadi Presiden membawa kepercayaan baru bahwa kader NU yang sejak era Masyumi sering diledek ‘kucing buduk’ bisa dipercaya memegang estafet dalam pemerintahan. Gus Dur telah ‘membangkitkan’ kepercayaan warga Nahdliyin untuk bangkit mengisi berbagai sektor kehidupan bangsa Indonesia dari kebudayaan hingga politik. Kepercayaan diri adalah warisan terbesar Gus Dur sepeninggalnya.

Modal tersebut dipakai oleh KH Hazim Muzadi Ketua Umum PBNU aktif untuk menjadi calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati pada saat Pilpres tahun 2004. Bisa dibayangkan kalau pada tahun 2014 Ketua Umum Aktif PBNU, KH Said Aqil Siroj menerima pinangan Prabowo agar menjadi Calon Wakil presidennya pada Pilpres 2014? Berikut keterangan orang yang sekarang jadi Menteri Pertahanan:

“Saya boleh sedikit cerita rahasia? … Dulu, ketika di awal-awal maju, ketika belum ada gambaran siapa wakil saya, orang pertama yang saya minta adalah Pak Kyai Said Aqil. Bukan sekali saya minta, tapi tiga kali, dan ketiga-tiganya ditolak, (Jppn, 27/6/2014)” inilah statemen otentik Prabowo yang perlu kita semua garis bawahi.

Jejak ini bisa menjadikan gambaran, Pertama, tuduhan bahwa Kyai Said berambisi terhadap pilpres 2024 tanpa dasar. Kedua, ketika KH Ma’ruf Amin terpilih menjadi Calon Wakil Presiden Jokowi yang seharusnya menjadi prestasi politik bersejarah NU malah putar balikan seolah-olah sebuah olokan bahwa PBNU masuk dalam politik praktis.

Jika membandingkan keputusan KH Hasyim Muzadi untuk maju bersama Megawati pada tahun 2004 dengan keputusan KH Said Aqil Siroj menolak Prabowo tahun 2014, rasa-rasanya terlihat dengan jelas mana pihak yang mencoba mendekati kekuasaan dan kepada siapa kekuasaan mendekat.

Jika kita kembali pada era Orde baru dimana NU hampir sulit mendapatkan akses apapun dalam bernegara, dan kini narasi kebangsaan dan keislaman NU mendominasi dalam berbagai aspek kenegaraan dan kemasyarakatan, maka hal tersebut adalah hal yang patut kita syukuri.

Bayangkan jika pada masa Orde Baru, peneliti LIPI, mengaku NU, misal. Atau pejabat kementrian mulai serempak mengakhiri salam sambutan dengan …Wallahul muwaffiq ila Aqwamit Tharieq… ” Boleh jadi dianggap subversif karena secara masal menggunakan simbol selain dari apa yang dianggap resmi dan diizinkan oleh Orde Baru.

Masalahnya, tanpa pemahaman sejarah diakronik, sulit melihat dengan jernih bahwa apa yang dicapai NU hari ini merupakan prestasi sejarah. Puluhan tahun mendatang, orang akan bertanya, dimana titik puncak daya tawar NU secara politik?

Mungkin orang akan menyebut keberhasilan Gus Dur menjadi Presiden. Sebagaimana sekarang orang-orang membuktikan perkataan Gus Dur.

Jawaban ini separuh benar. Separuh lagi, sebagaimana pengakuan Gus Dur, ia hadir sebagai pencegah huru-hara dan ancaman perpecahan bangsa. Singkatnya, masa kepemimpinan Gus Dur yang singkat, disisi lain, membuktikan bahwa kekuatan politik NU belum cukup memadai untuk sekedar bertahan di tampuk kekuasaan.

Prestasi politik tertinggi justru ketika Kyai Ma’ruf Amin terpilih menjadi Cawapres Jokowi yang menyalip Mahfud MD di belokan akhir. Anda bisa mengatakan bahwa ini adalah strategi dan manuver politik. Namun, kita perlu memperhatikan hal yang lebih besar: daya tawar politik NU begitu besar dan semakin membesar.

Inilah prestasi kolektif yang bisa diakui bersama. Anda berhak tidak setuju dengan prestasi semacam ini. Tapi cobalah berkunjung ke masa lalu, perhatikan NU masa Orde Baru dan kembalilah pada hari ini, semoga pendapat anda tidak berubah.

Iman Zanatul Haeri
Jakarta, 9 Desember 2021

banner 120x600

Tinggalkan Balasan