Mendekati Pemilu penangkapan tersangka korupsi yang dilakukan penegak hukum membuat publik bertanya. Hukum benar sedang bekerja atau dipinjam oleh kepentingan politik?
Setelah sebelumnya KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka suap, menyusul seorang hakim tinggi MA Sudrajat Dimyati terciduk menerima gratifikasi. Kejaksaan tidak ketinggalan menyusul penetapan tersangka Hasnaeni “Wanita Emas” Moein sebagai pelaku korupsi di Waskita Beton Precast.
Selalu menjadi catatan penting bagi publik adalah mengetahui latar belakang partai yang dianut tersangka korupsi. Menunjukkan sensitivitas publik pada perilaku korup dari kader partai, yang pada gilirannya menjadi catatan menjatuhkan suara dukungan menjelang Pemilu.
Lukas Enembe dan Wanita Emas berlatar belakang kader Demokrat. Penguasa 2 periode SBY yang sarat foya-foya, satu persatu terungkap di era Pemerintahan Jokowi. Opini yang berkembang, pemerintah Jokowi sedang menggembosi suara Partai Demokrat dengan mengungkap satu-persatu pelaku korupsi.
Dalam kacamata politik tidak ada yang mustahil, namun dalam koridor penegakan hukum itu tidak berlaku.
Pemerintah era Jokowi sedang berupaya menegaskan, inilah saatnya penegakan hukum tidak pandang bulu. Mereka yang di era sebelumnya “kebal hukum” kali ini tidak berlaku. Masih ingat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara kader PDIP juga tertangkap, membuktikan hukum bisa menembus siapa saja. Sebagaimana korupsi juga bisa dilakukan siapa saja dengan ataupun tanpa baground kader partai apapun.
KPK dan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum punya bukti dan saksi keterlibatan mereka yang tertangkap. Pengadilan menjatuhkan vonis hukuman berdasarkan hasil sidang. Sebagian besar tersangka mengakui perbuatannya, tanpa bisa mengelak. Menjadi bukti mereka benar melakukannya, bukan sekedar rekayasa kasus.
Kemudian muncul pertanyaan, masih berapa panjang daftar incaran pengungkapan kasus yang terindikasi korupsi oleh KPK dan Kejaksaan? Tidak ada yang bisa menjawab sepanjang kita masih belum sepakat bahwa koruptor pantas dihukum berat.
Hakim Agung MA yang tertangkap suap menjadi bukti bahwa praktik jual beli putusan hukuman nyata terjadi. Revolusi Mental yang digadang-gadang Jokowi justru diabaikan mental-mental korup di tingkat elite, petinggi dan para pejabat.
Dan itu sekaligus membuktikan peluang perilaku korupsi ada di lingkaran atas, ditonton masyarakat bawah yang sudah kehilangan kata-kata sumpah serapah, keprihatinan dan lelah mengelus dada.