Mumpung masih di bulan September, penumpasan PKI yang dihapus dioramanya, justru menguntungkan pelaku. Maka wajar jika permintaan semacam ini datang dari pihak keluarga atau pihak yang ingin menjaga nama baik pelaku “penumpasan.”
Lagipula bangsa mana yang mengabadikan proses pembunuhan masal yang dilakukan atas nama negara? Hanya di Indonesia kebanggaan menumpas, membunuh, menghabisi PKI diabadikan dalam catatan sejarah yang diulang-ulang.
Adapun, jika diambil contoh, yang dilakukan Kamboja, mengabadikan pembunuhan masal yang dilakukan polpot (Pemimpin Komunis Kamboja). Justru museum di Kamboja mengabadikan pembunuhan Masal yang dilakukan oleh kelompok Khmer Merah. Yang ditulis dalam tembok museum adalah nama-nama korban.
Bukan nama pelakunya.
Begitupun tugu korban perang dunia 2 di Korea Selatan, Tiongkok (pelakunya Jepang) dan Jepang sendiri mengabadikan nama korbannya dalam tugu tersebut (Bom Hirosima Nagasaki, pelakunya Amerika Serikat).
Bahkan 11 September 2001 runtuhnya dua gedung WTC, sekitar 1000 orang korban ditulis dalam tugu, bukan pelakunya kan?
Persoalan siapa yang salah, karena kita negara hukum, pengadilan yang menentukan. Yang jelas, korban adalah mereka yang nyawanya dihilangkan paksa.
Oleh sebab itu pertanyaannya, mengapa kita selama ini bangga menuliskan nama pelaku pembunuhan masal di tugu peringatan bersejarah? Ini lho, bukti kekejaman PKI. Di sinilah kebiadaban mereka lakukan. Begitu kira-kira narasi yang diciptakan
Lebih besar mengenang pelakunya, bukan korbannya
Yang unik, penghapusan semacam itu justru dituduh sebagai bagian dari plot atau penyusupan PKI. Agaknya ini juga tidak akan menguntungkan secara politik.
Dari semua perdebatan itu, toh selama ini kita diam saja saat sejarah di hapuskan. Hanya karena pelakunya bukan komunis.
Jika kalian ini merasa nasionalismenya paling tinggi, cobalah membuat diri kalian sedikit berfaedah, tidak cuma muncul bulan September seperti ilalang atau buah musiman. Padahal durian saja sekarang musim sepanjang tahun.
———
Iman Zanatul Haeri- Guru Sejarah