Siang bertambah gerah saat matahari me-melototkan sinarnya pas si ubun-ubun. Taburan sampah terlihat di sebagian sapuan mata, bercampur genangan air hitam yang terpaksa memvonisnya bau busuk ketika hidung terpaksa menciumnya.
Suasana perkampungan ini jauh dari layaknya habitat manusia hidup sehat. Lalat menempel di semua benda yang dia mau, tikus tikus lebih gemuk dari pada beberapa balita yang sedang asik menyusu dada kurus emaknya. Perjalanan silaturahmi ke sebuah alamat kali ini lumayan jauh dari nyaman. Berasa ingin balik badan pulang, tapi pikiran terlanjur terkunci.
Tak seberapa jauh di depan, seorang pria setengah baya berjalan semakin mendekat. Di tangan kanannya menenteng ayam yang kupastikan sudah mati. Sebagian tubuhnya yang hancur kupastikan bukan mati disembelih. Semeter dari jarak berdiri, lidah ini mendadak iseng bertanya :
“Ayam dari mana itu, Pak?
“Dari pinggir jalan, tadi habis terlindas angkot 97” jawabnya sambil bergantian memandangku dan ayam.
“Ooo.. bangkai ayam bekas ketabrak?”
“Iya dik. Cucu saya Kimung dari kemarin pengen makan ayam. Ini ayam entah punya siapa, daripada keduluan orang saya ambil saja” jawabnya polos lurus.
Lelaki bercelana pendek itu dahinya mendadak terlipat saat kukatakan bahwa bangkai ayam yang mati tanpa disembelih hukumnya haram kalau dimakan.
“Haram menurut mereka yang mampu beli dan faham agama. Saya masih lebih terhormat dibanding Miyan ponakan saya sebelah rumah. Dia kasih makan anak istrinya dari hasil nyopet di kereta” kalimat terakhirnya bernada ketus, lalu bergerak meninggalkanku yang masih melongo tak menduga apa yang baru saja terdengar
Seketika aku lanjutkan berjalan, sambil menunduk.
Aturan Agama dalam benaknya dibuat fleksibel. Mereka yang setiap waktu sibuk menyelesaikan urusan perut. Mereka terlupakan bimbingan ustadz, kyai dan habib yang justru sibuk ceramah di mimbar masjid, medsos, panggung politik, ruang ber-AC, perumahan elite, kampus, dan TV Swasta dengan honor jutaan.
Mereka juga yang kemiskinannya dilupakan orang-orang yang sedang sibuk menghias masjid, me-megahkan rumah ibadah, menempelkan kaligrafi emas di ruang tamunya.
Bukankah ukuran kemakmuran sebuah negara tidak diukur dari seberapa banyak gedung pencakar langit yang telah dibangunnya? Berapa ratus mobil mewah berseliweran di jalan tol. Bukan pula berapa banyak orang kayanya masuk daftar peringkat Forbes
Tapi dari seberapa banyak manusia yang dibebaskan dari kemiskinannya!?
Koja – September 2012-
Tyo Negoro