Di ruang kerjanya kami disambut hangat. Sebagai Direktur Produksi Industri Petrokimia di sebuah BUMN, pengalamannya terbilang komplit. Bahasanya taktis dan masuk akal.
“Di dunia ini tidak ada industri paling canggih yang bisa melebihi industri Pertrokimia. Otomotif, Pesawat Terbang atau elektronik nirkabel sekalipun itu masih simpel” kalimatnya membuatku berkerut jidat.
“Secanggih canggihnya pabrik mobil atau Gadget, dia cuma menciptakan dari benda padat menjadi padat juga. Kalau Petrokimia dari Gas atau uap yang tidak terlihat dirubah menjadi padat. Anda bisa bayangkan, dari gas alam diproses menjadi cair kemudian menjadi benda padat” lanjutnya kemudian.
“Contohnya pupuk urea ini ya pak?” Tanyaku memberanikan diri.
“Betul. Gas alam dari bumi diuraikan menjadi benda cair bernama methanol dan amoniak lalu diurai lagi menjadi benda padat bernama urea salah satunya. Atau lebih nyata lagi bijih plastik dan serat sintetis. Jadi baju, casing HP, botol aqua dan semua benda yang mengandung plastik itu asalnya dari gas” jelasnya runtut masuk di akal kami yang awam ini.
“Kalau batu bara yang di gudang itu untuk apa pak?” tanyaku ingin tahu.
“Sama seperti gas alam. Batu bara menjadi bahan baku industri petrokimia. Batu bara padat diurai menjadi gas lalu diubah lagi menjadi cair dan bahan padat lain. Namanya Gasifikasi Batu Bara”
“Ooo.. gitu ya? Berarti negara kita industrinya termasuk sudah canggih ya pak?” pertanyaan konyolku meluncur sambil heran.
“Hehe… Pabrik Pusri ini cikal bakal industri Pertrokimia di Indonesia. Tahun 1963 mulai beroperasi menjadi proyek percontohan bagi negara negara Asia lain. Lalu menyusul di Bontang, Gresik dan yang paling fenomenal di Cilegon dengan Candra Asrinya. Kita pernah menjadi nomer 1 di Asean untuk produk Petrokimia. Dan 2005 kemarin turun di peringkat 3 dibawah Singapore dan Malaysia. Info tahun 2015 lalu sedang proses turun peringak ke 4 di bawah Kamboja”.
“Lha kok bisa?” tanyaku konyol lagi.
“Itulah akibatnya kalau kita memperlakukan sumber daya alam sebagai bahan komoditi, bukan sebagai asset”.
“Maksudnya gimana pak?” lagi lagi pertanyaanku terlihat bodoh karena memang belum tahu.
“Bahan komoditi itu bahan baku jualan. Gas alam, minyak bumi, batu bara kita jual apa adanya tanpa kita olah dulu. Kalau kita menyadari itu sebagai aset kekayaan alam, seharusnya kita olah dulu hingga punya nilai kegunaan yang lebih tinggi. Kita malas mengolah enakan jual mentah karena banyak yang butuh nggak repot langsung terima duit.” Kalimat penjelasan pria setengah baya itu meluncur lancar tanpa koma.
“Kalau difikir Singapore tidak punya pertambangan, tapi industri Petrokimianya nomer 1. Jangan jangan itu bahan baku mentahnya dari kita yang di jual murah selama ini?” kali ini pertanyaanku lumayan pinter setelah menyimpulkan “kuliah” nya dari awal tadi.
“Betul sekali. Dan Pemerintah yang terakhir ini sudah menyadarinya. Belum terlambat karena sumber daya alam kita masih cukup untuk 2 generasi lagi asal diolah dengan baik”
Kalimatnya terakhir sedikit melegakan isi kepala dan dadaku. Sesuatu masalah besar di depan mata kadang tidak terlihat karena kita terlalu memandang ke atas dan samping pura pura tidak tahu. Atau justru asik berebut hak menguasai sesuatu yang sebenarnya hak bersama. Beberapa penentu kebijakan kini sedang berusaha mengejar ketertinggalan. Entah berapa langkah harus di kejar, yang pasti tak ada yang sia sia kecuali kita yang duduk diam tak melakukan apa apa. Kenyamanan membuat kita malas bergegas. Banyak bicara membuat waktu kita terbuang.
Di akhir pertemuan kami, beliau menitip harapan :
“Kita sudah setengah jalan merintis pembanguan Petrokimia terbesar di Asia bersama konsorsium Swasta dan BUMN lain. Semoga Presiden pengganti Jokowi punya komitmen yang sama melanjutkan skema industri Petrokimia yang sudah mulai menggeliat ini”
Sebuah harapan sederhana untuk sesuatu yang besar aku telan. Harapan salah satu orang baik di sudut negeri ini. Dan kita punya cukup banyak orang orang baik lain yang terus bekerja sambil mencintai negerinya.
Dahono Prasetyo (Palembang 2017)