Berbiak Dalam Asbak

Catatan Retrospeksi

banner iklan 468x60

Berbiak Dalam Asbak
Pilpres sejak 2014 memaksa kami berpisah karena perbedaan cara pandang memahami Indonesia. Namun seusai Pilpres kami bertemu, tetap dengan cara pandang yang berbeda, namun sedikit berkurang saling curiganya. Persahabatan kami sudah layaknya suami istri, ribut debat namun tetap rukun lagi.

“Jokowi sebenarnya orang baik, cuma orang-orang di belakang dia yang membuat situasi bangsa ini jadi kacau” ungkapnya sambil menyeruput kopi hitam. Cafe tempat kami bertemu sayup terdengar alunan musik blues.

“Jokowi dan orang-orang di sekelilingnya itu satu paket, sob. Apa yang diperbuat Jokowi adalah hasil pertimbangan dengan mereka. Begitu pula sebaliknya, apa yang mereka perbuat menjadi tanggung jawab Jokowi sebagai simbol kepemimpin.” balasku sambil menyalakan rokok. Menghisapnya dalam-dalam siap beradu argumen yang mulai dibukanya.

“Mereka yang dibelakang Jokowi memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan. Hitung saja berapa menteri atau pejabat BUMN yang tertangkap KPK” lanjutnya.

“Kalau Jokowi dikelilingi orang-orang dengan berbagai kepentingan memang benar. Dan ketika mereka bermasalah dengan masa lalu atau egonya sendiri, Jokowi tidak berusaha intervensi. Justru malah mendorong KPK dan Kejaksaan untuk “membersihkan” duri dalam daging yang selama ini memperlambat kecepatan pembangunan visi Jokowi” jawabku berargumen.

“Situasi seperti itu yang membuat rakyat tidak percaya lagi pada kepemimpinan Jokowi. Begitu pula penerusnya dari gerbong yang sama. Rakyat menuntut pergantian pemimpin yang lebih tegas dan bersih dari unsur korupsi” kalimatnya memotong kalimatku.

“Siapa penggantinya? Adakah yang bisa menjamin seandainya Ganjar, Prabowo, Anies, Puan atau AHY menjadi Presiden bisa bersih dari orang-orang sekeliling yang punya kepentingan ego? Sampeyan harusnya lebih paham siapa orang-orang di belakang mereka juga.” sahutku dalam kalimat mencecar.

“Jadi begini saja, bro. Urusan kepemimpinan biarkan Jokowi menyelesaikan 2 periode dengan segala efek carut marut yang terjadi. Biarkan Jokowi bertanggung jawab atas dampak sosial yang terjadi, memperbaikinya dan membersihkan benalu di sekelilingnya” jelasku sambil mengenakan jaket bersiap pulang.

“Apabila 2024 kubu Jokowi yang meneruskan, kerusakan aku yakin akan semakin bertambah, bro. Karena…”

“Karena kubu oposan dan pendukungnya selalu berprasangka buruk kepada Jokowi. Anies yang punya dendam egosentris, AHY yang ingin mengembalikan superioritas SBY dengan cara instan. Mereka menganggap tidak ada satupun hal baik yang sudah dilakukan Jokowi. Itulah tambahan kerusakan yang kamu maksud, kan?”potongku sambil merangkul pundaknya, merapatkannya di pundakku. Dia tersenyum kecut.

“Terserah kamu saja lah. Yang pasti persahabatan kita jangan sampai putus” jawabnya pasrah.

“Oh tidak lah. Kita berkawan kan sudah puluhan tahun. Kita cuma berbeda cara pandang saja, tapi bahwa kita sama-sama pernah satu keringat berjuangan ikut menggulingkan Soeharto, itu sejarah kita yang mustahil dipisahkan” ucapku sambil tersenyum memandang wajahnya.

“Haha.. itu sih romantisme extrem” dia ngakak sambil menyalamiku. Kamipun berpisah di titian jalan masing-masing.
***
Tio Negoro

banner 120x600

Tinggalkan Balasan