Dilema Buku Teks Dalam Tinjauan Negara

Analisa Histografi

banner iklan 468x60

Buku teks, dibuat oleh pemerintah. Untuk diedarkan di sekolah. Karena penyelenggaranya negara, maka jelas dengan maksud-maksud politik dan ideologis.

Misal, buku teks Kewarganegaraan dan sejarah, paling kental dorongan politiknya. Pada mapel ini, pengetahuan menjadi sangat ideologis. Tapi bukan berarti mapel lain tidak politis.

Misal matematika, bisa saja disisipi tema politis. Misal, mengapa ada presiden di luar batas masa jabatan sampe 32 tahun padahal batasnya lima tahun. Mudah saja. Misal menjadikan kasus perlawanan rakyat Wadas malah jadi contoh tidak baik dalam teks yang diproduksi negara.

Namun kita juga perlu punya pengalaman terlibat di dalamnya. Soal sejarah misal, ada lembaga negara yang berusaha masuk. Ada kejadian, lembaga korupsi memberikan rekomendasi agar mapel sejarah memiliki konten anti korupsi, dan lembaga anti teroris berharap narasi anti-teror masuk dalam materi buku teks sejarah. Belum lagi dari lembaga bencana alam ingin agar ada kesadaran bencana terlintas dalam buku teks. Permintaan itu pada praktiknya sulit dipenuhi.

Jadi, diakui ada pertarungan ideologis dan sektoral dalam pembuatan buku teks pelajaran sejarah.

Saking tingginya permintaan semacam itu, penyelenggara memilih konten narasi yang paling tidak bermasalah. Ada beberapa kaidah yang harus dicapai, misal edukatif dan tidak SARA. Padahal materi sejarah penuh juga dengan konflik dan ketidakadilan.

Ini belum lagi ada agenda segelintir orang yang hanya menganggap itu sebagai bagian dari menghabiskan uang negara. Berebutanlah mereka itu.

Akhirnya buku teks menjadi kering dan membosankan, karena berupaya menghindari berbagai narasi dan konten yang bisa memicu kontroversi.

Buku teks yang selama ini tercipta, juga lahir dari kinerja kebut sulap. Tentu hasilnya mudah diketahui.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengharapkan buku teks yang dibuat pemerintah renyah dan mengasikan.

Itulah saat yang penting kekuatan sipil dalam memberikan buku teks alternatif.

Namun bukan berarti pemerintah boleh lepas tangan setelah memproduksi buku teks yang membosankan. Sebab bacaan/teks yang berkualitas disebabkan bahan bacaan yang berkualitas pula.

Negara perlu menyediakan bahan bacaan yang berkualitas. Dan ini sulitnya minta ampun. Berapa kali saya lihat di beberapa perpustakaan sekolah dan pemda, diwarnai berbagai novel roman picisan yang tidak mencerdaskan dan mengandalkan desain visual cover dan label best seller.

Saya kira mendorong penyediaan bahan bacaan yang bagus yang bisa diakses seluruh pelajar dimanapun lebih penting daripada berdebat soal kualitas buku teks dari negara yang mudah ditebak kualitasnya.

Saya pribadi berlangganan di beberapa perpustakaan nasional dan terbantu dengan keberadaannya. Meskipun tetap saja, mencari mutiara di dalam lautan tetaplah membutuhkan usaha keras. A

pakah negara sanggup? Semoga.

***

Imam Zanatul Haeri (Guru Sejarah)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan