Belum lama ini, beredar video YouTube, Prof Mahfud MD menurut beliau atas perintah Presiden, agar mencari solusi melakukan reformasi hukum lembaga Peradilan. Utamanya berkaitan dengan putusan Pengadilan yang dirasakan “mengecewakan” masyarakat dan juga Presiden. Putusan pengadilan disinyalir masuk angin ditingkat Mahkamah Agung. Terkaitan dengan putusan hukuman terhadap para pelaku Tipikor dimana koruptor diberi banyak diskon hukuman. Itulah yang menjadi concern keluhan Prof Mahfud.
Catatan Pertama :
Untuk diketahui Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang dikenal dengan istilah “Trias politica”. Dalam konstitusi UUD 45. Bab VII,
DPR memberi persetujuan, atau mengajukan rancangan UU, yang menjadikan kekuasaan Legislatif ada di tangan DPR. Sementara itu Kekuasaan Eksekutif (Presiden dan pembantunya) berupa Kekuasaan Pemerintahan Negara diatur dalam Bab III UUD 45.
Presiden melaksanakan Undang Undang dan menjalankan roda Pemerintahan. Sedangkan Kekuasaan Yudikatif yang diatur dalam bab IX, yakni Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung beserta jajaran nya) dengan sistem pembagian kekuasaan seperti diatas. Hindari resistensi dan kegaduhan itu dan mempertimbangkan kehati-hatian masuk wilayah “pekarangan tetangga”
Catatan Kedua :
Inti persoalannya seperti dikemukan Prof Mahfud, adanya kekecewaan publik maupun Presiden menyikapi “gembos” besaran hukuman di tingkat Mahkamah Agung terhadap pelaku Tipikor. Barangkali tidak semua tudingan tersebut sesuai fakta? Sebagai contoh, kita ambil 2 tokoh perempuan yang sama pernah menjalani peradilan Tipikor. Angelina Sondakh anggota DPR dari partai Demokrat dan Pinangki Sirna Malasari sang jaksa legendaris. Angelina diputus 4 tahun 6 bulan pada januari 2013 dan diperberat menjadi 12 tahun di tingkat Kasasi. Bandingkan dengan hukuman Pinangki. Pada Pengadilan tingkat pertama di vonis 10 tahun (jaksa hanya tuntut 4 tahun). Ditingkat pengadilan Tinggi, dipangkas menjadi 4 tahun. Pinangki tidak mengajukan Kasasi, dan jaksa (pengacara negara, juga tidak), alhasil putusan menjadi Berkekuatan Hukum Tetap.
Menanggapi alasan pertimbangan Hukum Pengadilan Tinggi tersebut, Ketua MA Prof. Syarifuddin mengatakan: Putusan harus disertai dengan argumentasi hukum dan diterima dengan logika. “Memang mengenai kualitas putusan ini, kita tidak menginginkan putusan putusan yang tidak bertanggungjawab”, kata Ketua MA.
Hakim dalam membuat putusan didasari hukum acara. Kewenangan dan tanggung jawab Hakim, diatur dalam undang Undang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang No. 48 Tahun 2009. Hakim Independen tidak dapat di intervensi oleh siapa pun. Ada Independensi Hakim.
Catatan Ketiga :
Berdasarkan prinsip negara Hukum, penegakan hukum yang benar harus dilakukan dengan cara yang telah ditentukan dalam hukum acara. Hakim tidak terikat kepada atasan, namun bukan bearti MA lost control. Pasal 4 ayat (1) dan (2) PERMA 4 Tahun 2016 memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman. OTT terhadap Hakim Agung baru baru ini, tentunya menjadi pukulan telak bagi MA. Ada Badan Pengawasan internal yaitu Komisi Yudisial.
Catatan Keempat :
Persoalan utama publik, yakni adanya “rasa keadilan” yang terusik, sekaligus menumbuhkan rasa percaya (trust) kepada Institusi Peradilan. Upaya mulia ini adalah hilir dari persoalan sesungguhnya. Lantas mengapa tidak “hulu” saja dituntaskan? Ratifikasi UU pembalikan beban pembuktian (uu pembuktian terbalik). Yang akhirnya setiap pejabat ataupun pemangku kekuasaan wajib membuktikan harta kekayaanya? Tentunya dengan adanya UU tersebut, diharapkan masalah perkara Tipikor tidak lagi menjadi beban proses peradilan.
Catatan kelima :
Realisasikan hukuman pemiskinan terhadap koruptor setegas mungkin, rampas aset koruptor dan miskinkan mereka. Besar atau lamanya hukuman badan kepada koruptor menjadi tidak relevan. Seandainya Pengadilan memberi diskon sampai bebas pun bukan masalah bukan? Selama koruptor sudah dimiskinkan! Karena fokus penegakan hukum Tipikor adalah recovery kerugian Negara.
Prof Mahfud seyogyanya fokus kepada reformasi Eksekutif terlebih dahulu, meningkatkan kinerja Kejaksaan dan KPK. Atau lebih tepat sudah waktunya memikirkan mengakhiri keberadaan lembaga Ad hoc yang kehilangan taringnya?. Pembenahan kinerja aparat Eksekutif, seperti penegakan hukum contohnya kasus Gubernur Papua Lukas Enembe, penegakan hukum lebih bayar ala Pemprov DKI (terminologi kelebihan bayar ini tidak dikenal dalam UU, terkesan permisif). Kemudian penegakan hukum bancakan komitmen fee formula E. Montreal hanya Rp 18 Milyar, Newyork free. Sedangkang di Jakarta Rp 560 Milyar memakai dana APBD.
Pembenahan lembaga BPK yang sangat memprihatinkan, (satu satunya lembaga yang justru tidak tersentuh reformasi pasca reformasi). Bagaimana mungkin hasil audit WTP disematkan kepada suatu daerah berturut turut selama sekian tahun, sementara Kepala daerahnya tiba-tiba OTT. Atau malah anggota BPK nya yang di OTT?
Penertiban para Aparatur Sipil Negara yang tidak melaksanakan Undang Undang dan tidak menghormati putusan yang sudah inkrah, padahal mereka disumpah untuk melaksanakan konstitusi dan melaksanakan Undang-undang. Contoh konkret Pejabat ATR/BPN, dalam Kegiataan Pengadaan Tanah proyek strategis Nasional ruas tol Jatikarya, memilih tidak membayar uang ganti rugi tanah yang dikonsinyasi kepada warga yang berhak, padahal sudah terjadi perampasan hak (tanah) secara semena-mena, yang melanggar HAM dan sekaligus bertentangan dengan Konstitusi pasal 28 (H). Negara tahu namun memilih menikmati dengan membiarkan pelanggaran HAM itu? Hal hal seperti ini yang seharusnya menjadi prioritas, dan itu semua ada di ranah Eksekutif!
Lantas bagaimana dengan MA sendiri? Sesungguhnya sangatlah sederhana, dapat dimulai oleh Prof Mahfud sendiri secara “adat Madura”, berbicara dengan cak Narto, (DR. Sunarto Wakil Ketua MA Non Yudisial). Pertemuan kedua anak bangsa asal Madura ini, diharapkan dapat menginisiasi, menyelesaikan separoh reformasi MA.
Prof Mahfud anda bisa. Demi NKRI tetap semangat Prof.
***
Penulis : Justian Styawan (Law Volunteer)