Sosok yang satu ini dianggap sudah bukan “ancaman” lagi bagi sebagian kalangan. Namun rekam jejaknya saat berada di lingkaran carut marut kekuasaan meninggalkan banyak kenangan.
Suatu saat ex Wakil Gubernur dan Gubernur DKI itu saat mendapat kritik masalah akhlak para pemimpin yang sudah jauh dari akidah agama.
“Kita gak bisa urus negara yang begitu majemuk pakai agama, sesama agama saja berantem. Sejarah membuktikan, sesama agama saja ribut, coba baca di koran terbaru bergambar seorang bayi berjudul “KILL ME. I’AM SYIAH’. Kristen-katolik juga sama saja,mengkritik agama sudah nggak jamannya lagi, yang penting nilai-nilai dalam agama kamu harus mempengaruhi kamu dalam kamu bertindak,”
Begitulah jawaban seorang Ahok yang Cina tulen dan non Muslim, namun berwawasan Nasionalis dan berjiwa Humanis.
“Iman harus ditunjukkan dengan perbuatan. Kamu mau tunjukkan Iman, tunjukkin perbuatan kamu, baru kemudian orang tahu Iman kamu seperti apa.
“Bukan menghindar dari dialog agama,saya terus terang menganut prinsip yang membedakan antara agama dan negara. Saya berusaha bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai dan norma agama saya, itu penting”
Sebuah dialog yang sensitive namun penting. Di tengah issu seseorang dari golongan minoritas pernah dipercaya memimpin kemajemukan di perkampungan yang bernama Jakarta. Bagi sebagian kita Ahok tetap idealnya seorang Pemimpin, meski belum berada di jaman yang tepat. Pemimpin adalah seseorang yang berani mengambil keputusan yang konsekwen demi kemaslahatan banyak orang. Bukan sekedar jabatan birokrasi, ketok palu, tanda tangan sambil menikmati aneka tunjangan dan fasilitas Negara.
Berfikirnya sedikit otoriter, namun penuh argumen yang logis. Sederet keputusan penting saat bersama Jokowi lahir dari kecerdasan otaknya. Lelang jabatan Camat dan Lurah dinilai banyak orang sebagai ide brilian demi menciptakan birokrasi pemerintahan yang kompeten. Di sisi lain ada yang menilai sebagai proyek ambisius Ahok dalam me-restrukturisasi posisi jabatan bawahannya.
“Lurah dan Camat yang Gaptek, silahkan mundur dan akan ditempatkan di posisi yang lain. Bagaimana bisa maju kalau tehnologi saja nggak update” demikian tegas Ex Bupati Belitung. Bahkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid almarhum sempat terkagum kagum dengan sepak terjang Ahok dalam membangun kampung halamannya.
“Di Kepulauan Riau (Belitung) sana ada seorang calon pemimpin besar. Orang etnis Cina tapi berjiwa rakyat. Cerdas dan Bersih dari Korupsi “ kata Gus Dur suatu saat berdialog dengan para Gubernur dan Walikota se-Indonesia saat beliau menjabat sebagai Presiden.
Salah satu kebijakan Ahok dalam mengatasi masalah sosial adalah saat meng-instrusksikan seluruh Kelurahan di Jakarta menyediakan lahan untuk dibangun Pasar. Para pengemis, tuna wisma akan hingga para preman akan dipekerjakan sesuai kemampuannya di tempat lalu lintas perekonomian itu. Mereka digaji tetap oleh Pemda dengan satu syarat mudah, yaitu tidak malas alias mau bekerja.
Bahwa Pengemis, tuna wisma dan Preman jalanan adalah manusia juga. Mereka hanya butuh di-manusiakan, dicarikan solusi saat mereka sendiri dalam kondisi “kalah bersaing”. Pemerintah daerah hadir dalam bentuk kebijakan. Tinggal bagaimana mereka mau menerima atau tidak, itupun butuh proses bukan instan.
Mungkin sebagian ada yang menganggap tulisan ini sebuah sanjungan untuk seorang Ahok. Fanatisme pada sosok Pemimpin yang Kontroversial. Namun jika kita mau merenung sejenak sebenarnya tidak ada yang aneh dan istimewa. Karena memang begitulah seharusnya seorang pemimpin. Tempat bermuaranya segala permasalahan orang-orang yang dipimpinnya.
Saat Negara sudah bosan basa-basi, butuh dirimu yang punya gaya tanpa basa basi.
***
Salam Indonesia Lugas – Tyo Negoro