Elektabilitas menjadi salah satu ukuran seorang calon layak atau tidak dari sejumlah persyaratan lain yang justru tidak terkait elektabilitas. Seberapa besar tarik ulur elektabilitas (pendapat publik) dengan kepentingan transaksional (elite)? Jawabannya ada pada sosok dalam menjaga intensitas dan konsistensinya.
Dibanding Prabowo dan Anies, Ganjar termasuk calon yang konsisten menjaga sentimen positif yang lahir dari dialektika “penerus Jokowi”. Berbeda dengan Prabowo sebagai pemain lama langganan Pilpres. Diam tidak melakukan apapun elektabilitasnya tetap tinggi. Sedangkan Anies harus sibuk melakukan manuver politik sebagai jawaban antitesis Jokowi.
Urusan dukungan suara Pilpres mengalami pergeseran yang signifikan. Ini era dimana suara suara pemilih tidak lagi musimnya door to door mengkampanyekan calon melalui mesin politik partai. Mengumpulkan KTP yang ditukar sembako berharap nanti mau mencoblos gambar pisang atau ubi di kertas suara.
Media sosial terbukti lebih ampuh memasuki empati publik. Algoritma medsos menyebarkan narasi dengan berbagai gaya. Sengaja atau tidak, Ganjar sudah melakukan sosialisasi gesture politiknya, memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasi sekaligus meraup popularitas sekaligus elektabilitas.
Sebagai Gubernur yang masih aktif menjabat hingga September 2023, secara etika politik Ganjar tidak diperkenankan melakukan kampanye. Kewajibannya dibatasi sebagai Gubernur Jawa Tengah melalui kebijakan struktural.
Ganjar selama ini sekedar mengatakan : “Ini lho saya, Gubernur Jateng yang dekat dengan warga”
Ganjar tidak sedang mengatakan : “Saya Calon Presiden, inilah yang sedang saya lakukan sambil menyelesaikan masa jabatan”
Jabatan Gubernur aktif secara undercover bisa punya peran ganda. Sebagai pelayan publik namun bisa juga sebagai mesin partai dalam koridor loyalitas. Jawa Tengah sebagai basis massa PDIP diperkuat oleh loyalitas Ganjar kepada partai melahirkan empati.
Kemudian muncul pertanyaan : Patron “Djawa adalah Koentji” dalam beberapa kali Pilpres langsung masihkan berlaku di 2024? Sementara di Pulau Jawa, PDIP tinggal menyisakan Ganjar sebagai Gubernur. Pilpres tidak hanya tentang Jawa Tengah yang sudah pasti mayoritas mendukung Ganjar. Tetapi meninggalkan Jawa Tengah dengan Ganjarnya akan menjadi blunder terbesar dalam sejarah PDIP.
Keputusan Megawati menentukan siapa capres dari PDIP di last minute terkesan jauh di mata dekat di hati, secara langsung menyumbang implikasi politik terbesar. Bohir-bohir capres lain meskipun sudah deal transaksi investasi kekuasaan, namun masih dibuat galau.
Bagaimana mau mengucurkan dana suksesi semisal untuk Prabowo, Anies, Erlangga atau AHY kalau siapa rival yang akan dilawan masih belum resmi ketahuan? Bagaimana mau menyusun strategi pemenangan kalau belum jelas siapa lawannya? Semua baru berupa seandainya capresnya si A atau apabila capresnya si B.
Catatan pentingnya, pernyataan Ganjar siap menjadi Capres menjadi kode keras urusan nyali. Banyak kandidat yang juga siap, tapi nyalinya baru sebatas pajangan baleho dan membiayai relawan.
Ganjar siap dan bernyali, itulah yang membuat pendukungnya makin berbiak dan membara. Itulah gerbong posisi tawar Ganjar yang paling aduhai untuk siapa saja
***
Dahono Prasetyo