PMN : Retrospeksi Nasionalisme Menuju 100 Tahun Sumpah Pemuda

Pejuang Marhaenis Nusantara

banner iklan 468x60

28 Oktober 1829, 94 tahun yang lalu bangsa ini melewati satu tahap penting tentang nilai persatuan dan kesatuan. Pemuda berbagai suku, agama, bahasa, dan kebudayaan menyadari pentingnya bersatu untuk upaya memerdekakan diri sendiri.

Politik devide et impera Kolonial Belanda selama berabad-abad menjadikan wilayah nusantara sepanjang garis khatulistiwa berada pada titik paling nadir. Terjajah struktural dan kultural di negeri kaya raya incaran penguasa berbagai penjuru dunia.

Kesadaran bersatu dan merdeka lahir dari situasi yang semakin hari makin terpuruk. Rasa memiliki bangsa dan tanah air muncul karena himpitan kolonial Belanda dan cengkeraman VOC yang menguras kekayaan alam.

Perlawanan sporadis di berbagai daerah yang berhasil dipadamkan pada akhirnya melahirkan penjajahan baru. Kerja paksa dan tanam paksa diterapkan sebagai konsekwensi pembiayaan memadamkan perang.

Nasionalisme lahir sebagai upaya perlawanan ideologi para tuan rumah di tanah sendiri. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi momentum menyatukan ratusan empati pemuda dan pemudi dalam satu ikrar.

Apa yang kemudian terjadi? Perjuangan pergerakan membangkitkan keinginan merdeka merebak di seluruh Nusantara. Bukan dengan mengangkat senjata, tetapi negosiasi, argumentasi dan diplomasi intelektual pribumi berhasil merepotkan Kolonialis Hindia-Belanda.

Keinginan merdeka para inlander menjalar hingga ke seluruh lapisan, pergerakan menuju perlawanan sistemik. Kolonialis Hindia-Belanda memenjarakan tokoh-tokoh pergerakan sebagai upaya memutus rantai perjuangan. Namun terlambat, ikrar Sumpah Pemuda bukan sekedar kata-kata belaka, namun penuh pelaksanaan. Nasionalisme terbentuk sebagai kesadaran bahwa bangsa besar ini sedang dikerdilkan.

Hampir satu abad kemudian Nasionalisme Sumpah Pemuda yang diperingati tiap tahun mengalami banyak pergeseran. Serbuan kepentingan asing mengepung bangsa mengatasnamakan agama.

Siklus Devide Et Impera terjadi lagi dengan bentuk lain. Penyeragaman pluralisme dilakukan oleh ideologi berkedok Agama. Intoleransi mengikis Nasionalisme, meninggikan agama di atas kepentingan negara.

Bangsa ini kembali menjadi primadona Neo Kolonialis. Kali ini diawali penguasaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermuara pada penguasaan Sumber Daya Alam (SDA). Potensi anak bangsa sebagian sudah terdoktrin ideologi anti nasionalis yang hanya mencintai agamanya.

Indonesia mundur beberapa abad ke belakang, terjajah kepentingan asing yang masuk melalui idiom identitas. Nasionalisme yang seharusnya bergandengan tangan merangkul keberagaman, berubah menjadi melindungi mayoritas untuk melawan minoritas.

Kaum Nasionalis dengan semangat Sumpah Pemuda sedang terlena seolah tidak terjadi apa-apa. Menganggap Neo Kolonialis berbaju agama bukan sebuah ancaman, sama halnya mempersilahkan anak cucu kita menjadi santapan empuk predator ideologi asing.

Neo Kolonialis jumlahnya tidak seberapa, namun ketidaksadaran kita atas efek yang ditimbulkan menjadikan mereka membesar di tengah-tengah kita. Lalu perlahan pada saatnya nanti akan menguasai sendi-sendi negara, simpul-simpul kebangsaan dan falsafah para pendiri bangsa.

Belum terlambat untuk melawan. Hanya butuh kesadaran bahwa keutuhan kita sedang terancam. Selanjutnya kembali bergandengan tangan dengan mengucap ikrar :

Kami putra dan putri Indonesia, bersumpah mempertahankan satu tanah air, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, berjanji menjaga keutuhan budaya yang beragam, budaya Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia sepakat menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara kita.

Tanah air, budaya dan Pancasila.
Menjadi 3 hal yang paling gencar digempur Neo kolonialisme.
Jaga dan pertahankan.
Merdeka…!!!
***

Jakarta, 29 Oktober 2022

DPP Pejuang Marhaenis Nusantara ( PMN)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan