Kita tak mungkin dapat memahami film The Lord of the Rings pada seri The Return of the King tanpa terlebih dahulu menyaksikan The Two Towers.
Pun ketika menonton The Two Towers tanpa melihat seri pertamanya, The Fellowship of the Ring.
Keutuhan cerita sebagai kuat gambaran film tersebut hanya akan muncul manakala kita paham akar permasalahan kenapa film itu dibuat yakni dimulainya perjalanan panjang dan berat empat orang hobbit yang lemah secara fisik dan namun justru ditugaskan untuk menghancurkan cincin beraura gelap dan jahat.
Demikianlah cara pandang yang sama dapat kita gunakan ketika berusaha memahami bagaimana Indonesia merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang melahirkan negara baru bernama Indonesia tak akan pernah terjadi tanpa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan Sumpah Pemuda juga tak mungkin pernah hadir tanpa Kebangkitan Nasional 1908.
Seperti trilogi, kejadian satu dengan yang lain adalah kaitan sebab akibat yang tak mungkin terpisah.
Demikianlah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa bertemunya para pemuda dalam satu ikatan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa dalam satu nama Indonesia. Pilihan nama INDONESIA telah mereka ungkap bahkan 17 tahun sebelum Proklamasi.
Nama Indonesia telah mereka ikrarkan dalam satu semangat, dalam satu kebersamaan, jauh sebelum negara ini merdeka. Satu Nusa, satu bangsa dan satu bahasa, INDONESIA.
Sama dengan ide cerita seri kedua Lord Of The Ring berjudul The Two Towers dimana persatuan semua unsur adalah penting demi mengalahkan musuh yang sangat kuat, Sumpah Pemuda adalah peristiwa penting sebagai trilogi kedua yang bermakna tentang persatuan semua elemen rakyat demi mengalahkan begitu banyak keunggulan Belanda.
Persatuan adalah jawabannya.
Tak ada sekat Jawa, Batak, Ambon hingga Papua. Tak ada bahasa lebih unggul derajatnya dibandingkan bahasa persatuan kita bahasa Indonesia. Tak ada tanah air yang lain selain tanah air kita Indonesia. Itulah ikrar persatuan yang lahir akibat peran dari peristiwa Kebangkitan Nasional 1908.
“Kenapa bernama Indonesia?”
Sebelum bernama Indonesia, wilayah dalam kontrol Belanda yang meliputi jarak membentang dari Sabang sampai Merauke itu bernama Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indie.
Proses panjang penguasaan Belanda pada wilayah itu tak selalu karena sebab invasi Belanda melulu. Banyak peristiwa yang justru terjadi karena kita senang mengundang mereka masuk.
Lihat saja perang Diponegoro. Bukti bahwa keturunan Pangeran Diponegoro baru boleh lagi masuk Keraton Jogja setelah Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti, tentu menimbulkan tanya.
Perang siapa melawan siapa pada perang Diponegoro? Bila perang Belanda dengan Pangeran Diponegoro, kenapa Sultan Hamengkubuwono IX yang justru memberi amnesti?
Pun pada perang Imam Bonjol dan banyak perang yang melahirkan pahlawan bersifat kedaerahan. Seringkali kerajaan lokal terpancing minta bantuan pada Belanda atau VOC terkait dengan peristiwa pemberontakan pada wilayah kekuasaannya.
Dan atas jasa Belanda yang telah membantunya, mereka kemudian mendapat hadiah. Entah boleh mendirikan kantor dagang hingga benteng, cerita itu dapat dengan mudah kita akses pada banyak laman sejarah.
“Iya kenapa kita pilih nama Indonesia?”
Konon nama Indonesia adalah pengganti dari Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda. Itu menunjukkan wilayah berdaulat sebuah negara.
Dalam artian ilmiah demi kepentingan geografis dan etnologi, wilayah itu pernah bernama Indunesia. George Samuel Earl, etnolog berkebangsaan Inggris, menyebut ‘Indunesia’ untuk nama gugusan pulau di Lautan Hindia.
Nama Indonesia dengan “o” bukan “u” pertama disebut adalah tahun 1850 oleh James Richardson Logan pengacara dan penyunting majalah berkebangsaan Inggris.
Apa yang kita baca dan kita pelajari sebagai sejarah dunia, kebanyakan disusun oleh mereka yang berasal dari barat atau Eropa.
Cara pandang bangsa-bangsa Eropa saat itu tentang dunia timur atau Asia adalah hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Tak ada nama Indonesia, Malaysia dan banyak negara di Asia Tenggara seperti saat ini.
Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semua adalah Hindia.
Jazirah Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang” atau Kepulauan Hindia atau Hindia Timur.
“Trus Indonesia?”
Kata ‘Indonesia’ berasal dari bahasa Yunani, yakni ‘indo’ dan ‘nesos’.
Indo’ berarti ‘India’ atau ‘Hindia’, sedangkan ‘Nesos’ berarti kepulauan.
Jadi, arti kata ‘Indonesia’ adalah kepulauan Hindia atau kepulauan India yang terletak di Barat Daya India atau Hindia atau “Hindustan”. Dan maka Belanda tetap menggunakan mama Hindia dengan tambahan Belanda di belakangnya.
Sementara ketika kita ingin tahu lebih jauh tentang asal kata India atau Hindia, pada abad ke-13 nama Hindustan muncul dan memiliki arti “Negeri para Hindu”. Akhiran “stan” dari bahasa Persia yang bermakna negeri atau tanah dan itu konsisten pada Tajikistan yang bermakna negeri dari suku Tajik.
Ketika Indonesia adalah nama lain dari Hindia Belanda dan Hindia mengacu pada Negeri para Hindu (Hindustan), bukankah dengan demikian nama Indonesia yang berasal dari Indo dan nesos juga dapat ditulis dengan Hindunesia?
“Negeri para Hindu di sebelah barat daya India?…Koq bisa sih?”
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” akibat kebijakan politik etis Belanda sebagai rangkaian trilogi pertama adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch adalah pelafalan Belanda untuk “Indonesia” sebagai ganti Indisch untuk “Hindia”.
Sejalan dengan itu, inlander (“pribumi”) diganti dengan Indonesiër (“orang Indonesia”)
Pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia bukan lagi hanya sekedar nama untuk kepentingan ilmiah yang mengacu pada geografi dan etnologi semata. Nama Indonesia telah disematkan sebagai identitas sebuah bangsa yang ingin memperjuangkan kemerdekaannya.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.
Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Dalam tulisannya, Bung Hatta menegaskan :
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA…
***
RAHAYU
Karto Bugel