Sebuah malam muda, saat reda tumpahan hujan. Duduk bersedaku di keremangan lampu gudang, di pinggir jalan raya lembab.
Pada isapan rokok ketiga, di jalur lambat jalan lingkar selatan Yogya. Seekor pengendara ojol melaju perlahan,
: lalu berhenti.
Di tangan kirinya menenteng seekor mahluk Tuhan, lalu meletakkannya di trotoar.
Kepala dan matanya celingukan khawatir ada yang melihat,
: lalu berjalan lagi
Aku menyaksi di keremangan,
: lalu menghampiri.
Seekor kucing kecil satu kaki depannya lunglai sisa tertabrak, entah siapa.
Hanya spontan yang ada, aku pungut kucing itu agar terlindung, sementara gerimis sudah mulai mengintip lagi
Tetap dalam keremangan lampu, terlihat kakinya dari semulai pangkal bahu ringsek. …namun sesekali masih bisa mengeong-ngeong menyerak lirih menyerak…
Lalu saya bermonolog agak keras untuk diri saya sendiri dan kesembuhan kucing yang hampir mustahil…
“Pusss…Puusss…Sembuh ya… Puusss…Puuss
sembuh ya… Tahan puuusss…Tabaahhh…!”
Selanjut lebih saya dekati lebih seksama wajah mungilnya. Saya amat-amati lelehan darah lambat-lambat menyembul keluar dari tepian mulutnya.
Sebentar kemudian saya tengadah ke langit, kalau-kalau Tuhan iseng mengintip kucing kecil sekarat itu.
Pada akhirnya. Saya tinggalkan kucing kecil sekarat dengan kaki ringseknya itu di emperan gudang itu sendirian…Saya lalu mendongak lagi ke langit, kalau-kalau saja Tuhan iseng mengintip…
Ah… Ternyata Tuhan serius, aku dan kucing yang iseng
***
Eng Wib – Penyair Berbisik