Skenario ini sarat argumentasi politik terkait Pilpres 2024. Anies Baswedan yang sudah lebih dulu bebas tugas menjabat kepala daerah, menjadi warga biasa yang bebas menentukan jalan karir politik selanjutnya.
Dorongan sporadis dari partai-partai “gemuk” agenda 2024 memposisikan Anies sebagai sosok potensial dipoles dengan berbagai tehnik antitesis. Salah satunya menjadi Capres dari kelompok muslim fundamentalis ditambah partai “tanggung” (besar nggak, kecil juga bukan)
Kubu anomali ini sudah menyimpulkan sedini mungkin lawan terberat yang akan dihadapi pada perhelatan 2024 nanti. Anie-lah yang paling penurut, mudah diatur sekaligus obyek logical fallacy paling manis.
Sebanyak apa publik membenci Anies, sebanyak itulah jumlah yang merindukan sosok Anies. Potensi gerbong absurd di belakang Anies itulah yang paling sexy digerakkan. Partai Nasdem mengambil resiko spekulasi Anies dengan deklarasi grusa-grusu yang sarat intrik.
Anies sendiri sepeninggalan dari Balaikota dengan bergelayut seonggok persoalan kebijakan pengelolaan daerah, dalam anasir pengusungnya sudah menyelesaikan satu tahapan proses. Carut marut APBD penuh caci maki warganya, namun tidak bagi yang menikmati panen durian selama 5 tahun.
Secara kasat mata, kecil kemungkinan Anies lolos dari jeratan hukum, namun tidak secara kasat politik.
Gerbong pengusung Anies seolah berkata : “Anies itu calon Presiden yang sudah punya basis pendukung militan. Siapa yang berani menjebloskan ke penjara akan berhadapan dengan kekuatan massa yang didukung kekuatan logistik unlimited”
Pemerintah Jokowi yang butuh kestabilan politik dan keamanan sedang tersandera kepentingan politik.
Para pakar strategi politik pro pemerintah harus memutar mengambil jalan aman. Anies dipersilahkan masuk bursa Capres entah didukung siapapun dan partai apapun. Setelah mengerucut syarat Presidential Threshold, maka 1 poros telah terbentuk.
Kita sebut saja poros antitesis Jokowi
Sementara poros penerus Jokowi mulai menata barisan dan strategi pemenangan setelah paham apa yang sedang dihadapi. Pada saatnya nanti kampanye berjalan hingga debat capres terjadi, Anies “ditelanjangi” dengan sejumlah data dan fakta.
Pemilu langsung dengan dua atau tiga calon, selain pertarungan dua atau 3 kubu masing-masing pendukungnya, selalu menyisakan 1 kubu tengah. Merekalah para swing votter yang menentukan pilihannya di detik-detik terakhir. Swing votter (suara pemilih yang bebas berayun) jika digabung dengan para golputer, jumlahnya bisa mencapai 20%.
Suara “tersembunyi” itulah yang tak terpengaruh kampanye, money politik ataupun rayuan janji-janji. Mereka lebih realistis melihat masa depan. Merekalah diam-diam menjadi kubu penentu kemenangan saat kubu rivalitas sama kuat pendukungnya.
Kesimpulannya : Anies dan kubu pengusungnya sengaja dipersilahkan mengikuti Pemilu, siap dijadikan target “penelanjangan”. Siapa yang kemudian diuntungkan? Yang pasti lawan kubu seberang Anies akan lebih mudah memenangkan simpati tanpa harus repot menyebar hoax dan kampanye hitam.
Cukup dengan membuka data dan fakta : Mengapa dia dipecat dari Mendiknas?
Mengapa DKI Jakarta amburadul pengelolaanya di tangan dia?
Mengapa APBD DKI mencatatkan sejarah dalam kondisi defisit sepeninggalannya?
Mengapa pula kebohongan ditutupi dengan kebohongan baru agar semakin banyak dan akhirnya dianggap menjadi kebenaran?
Masyarakat sudah cukup cerdas menilai, tetapi urusan politik menjadi sirkus, ada di tangan para pemainnya. Kita yang masih butuh tontonan gratis, meski seburuk apapun.
Namun sudah waktunya publik bukan lagi menjadi penonton, tetapi yang menyudahi akrobat. Bosan dengan sinetron yang sudah diketahui jalan ceritanya.
Salam Kritis untuk Indonesia.
***
Dahono Prasetyo