HUJAN REDA
kesiuran iseng angin
jingkat jingkat pencuri
mengintip jenaka
senggama penyair dan hujan reda
air kenangan melisut
tubuh malam menyulam gigil
mampir tamu merenda hati sepi
sesekali menyeringai jantung malam
***
“Bulan pun cekikikan nonton gambar ini, kau?
(Sketsa Mentah 014)
sepandangan malam
iseng menuntun sepeda
pulang keluyuran,
merasai jalan musim hujan
cari jodoh semurung kesukaannya
bunga bunga bening hati
(Sketsa Mentah 015)
Dengan mengorbankan banyak makan biaya, hingga biaya tidak terduga, melayanglah sepetak dua petak ladang, sawah, kebun dijual. Ahkirnya bujang lanang emak/ibu ‘goal’ juga jadi bagian Polisi Republik Indonesia penjaga NKRI.
Pada hari Lebaran. Bujang lanang yang sudah gagah berseragam tersempatkan mudik kampung halaman. Setelah ‘cipiki-cipika’ sanak kerabat handai taulan. Tak lupa ia sungkem/sembah sujud simpuh pada emak/ibunya yang lirih lirih berpesan pada bujang lanangnya :
(Sketsa Mentah 02)
Bakat terpendam lumayan istimewaku, mungkin pendiam plus betah melamun, udad udud, ditemani bungkus kopi plastikan, lalu memandangi lalul lalang kendaraan lintas propinsi di jalan raya tol bebas hambatan
Masih dideret panjang ruko-ruko dipinggiran kota kawanku inilah. Dalam hujan gerimis antara pukul 22:00 malam. Dan untuk perjumpaan selintas pandang ke 3 kalinya. Saya baru tergerak menyeketsa lelaki pengamen bertopi dengan tas kecil menyelempang dan menenteng/gendong gitarnya dibalik punggungnya berjalan kaki pulang kerumahnya yang saya tidak tahu dimana…Ketika untuk pertama kali ia menoleh wajahnya kearah saya. Membersit begitu saja perasaan sunyi yang kuanggap tamu puisi menenun sisa hujan yang tabah
lidah lidah hujan
mengungkai benak benak
bila mujur ia menderas
mengungkai nadi darah kata
merangsang atau menikam kami berdua
nyeduh jemu terpelanting beku
dingin malam mati
(Sketsa mentah diri 01)
Sedang berjenak. Melamun sambil klepas klepus merokok di teras/kanopi sebaris ruko2 yang belum ditempati, berselingan menyeruput kopi berwadah kantung plastik beli di angkringan.
Kadang-kadang lepas juga pada saat selindap kheos membetah klepus klepus—kubisikan ‘sambat’ lirih2 ini.
Kepada sesuatu nan serba diluar (tinjauan/jangkauanku) yakni, KAU…
“Bakat seni terbaikku cuma keluyuran tanpa kejuntrungan ujud/bentuk kongkrit seimbuh menunggu gulir detik jamku henti sama sekali”.
Terkadang kala juga seperti menemu sekata dua kata puisi mampir “sambat” dihantar angin
pun
pada seekor kata
adalah rumah semak belukar aduhai
keluarga besar hantu provokatif
arwahnya penasaran gigih mencari mangsa rajin lembur begadang gentayangan
pada layar telepon genggam tuan puan
***
Jogja 2/11/22