Beberapa waktu lalu, Salman Rushdie, pengarang buku Ayat-ayat Setan, ditusuk oleh seseorang ketika dia sedang berada di atas panggung untuk berbicara. Lokasi kejadian berlangsung di kota kecil di negara bagian New York, di mana Rushdie sedang berpidato tentang praktek cencorship yang masih saja berlangsung di berbagai negara. Seorang pemuda yang beretnis Arab melompat ke atas panggung dan menghujamkan pisau berkali-kali mengenai leher, perut, dada dan mata. Sang pelaku yang disinyalir merupakan simpatisan Iran, Hadi Matar, warga negara Amerika keturunan Lebanon yang masih belum lahir ketika buku tersebut menjadi bermasalah, dengan tenang menyatakan diri tidak bersalah.
Operasi untuk menyelamatkan nyawanya berlangsung segera dan ditangani oleh sejumlah dokter dan professor. Walaupun sempat memasuki masa kritis, tetapi menurut berita terkini Salman Rushdie sudah tidak lagi memakai ventilator. Akan tertinggal bekas permanen karena sebelah matanya yang terkena pisau akan cacat buta atau paling tidak penglihatan akan menjadi kabur. Sebuah harga yang sangat mahal untuk mempertahankan kebebasan dalam berliteratur.
Salman Rushdie telah difatwa mati oleh Imam Khomeini pada tahun 1989, ketika dia menulis novel yang berjudul Ayat-ayat Setan. Sontak seketika, di negara-negara Islam buku tersebut menjadi barang yang terlarang dan diharamkan. Nyawanya ketika itu dihargai sebanyak 1 juta dollar dan kabarnya sampai sekarang hadiah itu telah menjadi 3 kali lipat dan makin berkembang. Khomeini meninggal 4 bulan kemudian dan karena fatwa ini tidak pernah ditarik sehingga sampai sekarang nyawa Rushdie masih terus terancam dan tergantang.
Salman Rushdie mengungsi ke negara Inggris Raya di mana dia diberi perlindungan yang penuh dan selalu dalam pengawalan, baik berupa bodyguard atau satuan kepolisian yang menjaganya utuh. Belakangan ketika dia sudah hidup di Amerika dan mulai mencoba mengendorkan pengawalan karena merasa mungkin orang sudah lupa dan mulai jenuh. Ternyata dugaannya salah, selain karena dia tidak pernah berhenti berdiri dalam spotlight dan menikmati statusnya yang bagaikan selebriti yang tanpa harus banyak mengeluarkan peluh. Sehingga orang masih terus mengingat fatwa tersebut, jadi tidak akan datang serigala menghampiri jika sapi tidak melenguh.
Saya pernah berjumpa dengan Salman Rushdie belasan tahun yang silam ketika mendapat undangan menonton premier film Mission Impossible yang dihadiri oleh Tom Cruise yang saat itu terlihat sangat gagah. Dia hanya berjarak dua meter dari garis pembatas di mana saya berdiri menunggu giliran untuk masuk ke dalam gedung acara. Jika saya ingin membunuhnya dan mendapatkan 1 juta dollar sebagai hadiah, mungkin saya bisa melakukannya dengan menggunakan tiang yang menjadi penyangga pembatas karpet merah. Tetapi saya hanya bisa melihat sambil mengorek hidung untuk mengumpulkan sebongkah upil dan kemudian menjentikkan ke arahnya.
Saat itu saya memang sudah membaca sebagian dari buku yang telah menjadi kontroversi dan memang ada sedikit rasa marah. Mungkin karena saya secara tidak sadar dipengaruhi oleh fatwa sang ulama sehingga tidak jujur dalam memberikan telaah. Tetapi kini, dalam satu minggu terakhir sebelum menorehkan tulisan ini saya membacanya kembali dan melihat dari sisi kacamata yang berbeda. Entah mungkin juga karena perjalanan hidup yang telah memberikan banyak pelajaran untuk bersikap dewasa sehingga saya bisa membacanya dengan pikiran yang terbuka.
Terus terang membaca buku Ayat-ayat Setan diperlukan ketenangan karena novel ini mempunyai gaya dan alur yang tidak biasa. Cerita yang bolak balik dan melompat-lompat, sehingga membuat pola yang tidak teratur sedikit membuat pusing kepala. Latar belakang Rushdie yang merupakan peranakan India memberikan warna tersendiri dan bahasa yang lumayan rumit untuk dicerna. Banyak nama-nama tokoh ternama dan peristiwa dalam dunia seni yang mengalir begitu saja tanpa ada catatan kaki, sehingga diharapkan pembaca sudah mengerti apa yang dimaksudkannya.
Novel ini bercerita tentang dua orang aktor keturunan India, yang satu merupakan bintang layar lebar, Gibreel Farishta, womanizer yang sangat tampan. Sedangkan yang satunya lagi, Saladin Chamcha adalah aktor panggung yang lumayan terkenal hasil didikan sekolah di London, yang kembali ke Bombay untuk mengadakan pertunjukkan. Mereka berdua bertemu di pesawat yang sedang dibajak oleh 4 teroris dalam sebuah perjalanan ke London dan meledak di ketinggian. Keduanya selamat ketika terjatuh di English Channel, dan baru menyadari kalau mereka merupakan reinkarnasi dari malaikat Jibril dan Setan.
Kisah selanjutnya yang ada di dalam buku yang membuat marah umat Islam adalah mimpi atau kenangan Gibreel akan masa-masa yang telah lalu. Terutama di saat the Messenger, yang dalam buku ini bernama Mahound, bergelut dengan hasrat untuk supaya Islam bisa diterima di kalangan bangsa Arab yang terdiri dari banyak suku. Saat itu pemimpin Jahilia, Abu Sufyan (Abu Simbel) yang masih terhitung paman sendiri memberikan deal, kalau mereka akan menjadi pengikutnya jika the Messenger mau mengakui ketiga dewi-dewi utama sembahan mereka sebagai sekutu. Sehingga dalam sebuah perlombaan puisi, the Messenger mengucapkan sebuah ayat yang mengakui Latta, Uzza dan Manat sebagai malaikat yang membantu.
Belakangan the Messenger menyadari kalau dia sudah berbuat sesuatu yang keliru, dan Jibril datang kembali untuk menyempurnakan ayat-ayat yang terdahulu. Ayat yang mempersekutukan Allah kemudian dihapuskan, dan mengatakan kalau Setan yang telah membuat lidahnya menjadi kelu. Sebenarnya insiden tentang turunnya ayat-ayat yang ada dalam surah ke-53 An-Najm ini tercatat dalam sejarah, sehingga kisah yang dinovelkan ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Yang menunjukkan kalau Rasullullah hanyalah seorang manusia biasa yang bukan nir salah, tetapi setelah peristiwa itu Allah kemudian menjamin dan menjaga beliau sepanjang waktu.
Sisi lain dari tuduhan blasphemy terhadap novel ini adalah kisah selanjutnya dari mimpi Gibreel Farishta, yang menjadikan pelacur-pelacur yang ada di sebuah rumah bordil dengan nama-nama istri Nabi. Diceritakan pada saat itu Jahilia sudah kembali dikuasai oleh kaum Islam, tetapi the Messenger masih memberikan toleransi waktu terhadap penduduk untuk menerima ajaran tanpa ada paksaan sama sekali. Sehingga masih ada praktek pelacuran, alkohol dan judi yang memberikan ide kepada Baal, seorang penyair terkenal yang sangat membenci. Demi menarik pelanggan, dia menamakan ke dua belas pelacur yang ada dengan nama istri-istri beliau termasuk yang sudah wafat menghadap Ilahi.
Sebenarnya Ayatollah Khomeini tidak pernah membaca buku ini, demikian menurut kabar yang diceritakan oleh anaknya sendiri. Kesimpulan sepihak diambil hanya berdasarkan para pembisik, dan mungkin juga karena ada tokoh lain di buku ini yang mirip dengannya, seorang ulama yang tinggi hati. Semua ini hanyalah permainan politik untuk menentang arogansi negara super power dan Salman Rushdie menjadi pion yang terjepit demi mencari sebuah simpati. Karena fatwa harus ditarik oleh orang yang memberi sedangkan Khomeini sudah lama mati sehingga sampai kini masalah ini masih terus tersimpan bagaikan bara api.
Tabik.
***
Penulis : B. Uster Kadrisson