Kita pernah mengalami formasi kepemimpinan Religius-Nasionalis di era Gus Dur dan Megawati. Meski usianya tidak sampai 1 periode seusai Gus Dur diturunkan setengah paksa berbalik menjadi Nasionalis-Religius dengan Megawati dan Hamzah Haz sebagai sosok kolaborasi politiknya.
Kolaborasi Nasionalis dan Religius dimulai ketika era Reformasi menjadi pembuka sumbatan saluran Demokrasi seusai 32 tahun berada dalam rezim Demokrasi Otoriter. Presiden dan Wakil Presiden disimbolkan mewakili karakteristik politik masing-masing aliran aspirasinya. Mana komposisi yang ideal bagi Indonesia dalam kolaborasi 2 karakter tersebut? Presiden Religius dan Wakil Presiden Nasionalis atau sebaliknya, yang pasti 2 unsur tersebut harus tetap ada sebagai satu kesatuan.
Religius mewakili mayoritas agama yang ada di Indonesia, sedangkan Nasionalis mewakili ke-Bhinekaan bangsa. Keduanya menjadi pilar utama kekuatan sinergi politik yang mengayomi beragam kepentingan. Kini Kekuatan Nasionalis-Religius mesti disatukan lagi dalam rangka menghadapi kekuatan ideologi agama dan gelombang kapitalisme global. Ideologi Khilafah dan era perdagangan bebas sedang bersaing menguasai peta politik dunia.
Khilafah yang gencar menyatukan wilayah negara berbasis Muslim dalam satu konsep persatuan umat secara tidak langsung sedang berebut pengaruh dengan raksasa ekonomi berbasis kapitalis. Dunia yang sudah sedemikian plural ingin dijadikan 2 “operator” besar penjajahan yang bisa berwujud “topeng” apa saja
Indonesia menjadi satu satunya negara yang paling dahsyat menerima 2 gelombang imperialisme secara bersamaan. Khilafah dan Kapitalisme sedang berebut pengaruh di negeri yang kekayaan dan keragamannya membuat iri negara lain.
Nasionalis Religius menjadi benteng pertahanan terakhir yang masih bisa disepakati. Karena sesungguhnya mencintai agama dan sesama penghuni bangsa adalah satu paket filosofi Habluminallah dan Hablumminannas.
***
Dahono Prasetyo