Berawal dari tahun 2000 saat ratusan ahli waris menggugat status kepemilikan lahan SHP 1 seluas 48 hektar di kelurahan Jaktikarya, Bekasi. Mabes TNI mengklaim lahan strategis berstatus Barang Milik Negara (BMN) cq. Kemenhan.
Proses peradilan berjalan dengan untuk mendapatkan kepastian hukum siapa sebenarnya pemilik sah lahan tersebut. Tahun 2008 MA mengeluarkan PK I No 218/Pdt/2008 yang memutuskan warga ahli waris sebagai pemilik sah berdasarkan data, fakta dan bukti.
Keputusan tertinggi MA tersebut tidak lantas bisa langsung dieksekusi, karena warga kemudian berhadapan dengan klaim pihak ketiga. Proses hukum antara ahli waris pemenang PK I dengan pihak lain yang juga mengatasnamakan pemilik lahan, berjalan bertahun-tahun.
Mabes TNI sebagai pihak yang kalah dalam PK I memanfaatkan kesempatan keputusan MA yang belum berkekuatan hukum tetap (incracht) dengan membangun komplek perumahan Perwira Tinggi di sebagian lahan.
Bersamaan dengan itu di tahun 2016, kementerian PUPR melaksanakan proyek strategis Nasional (PSN) pembangunan jalan tol Cimanggis Cibitung yang mengambil sekitar 4,2 hektar lahan konflik tersebut. Sebagai kompensasinya PUPR memberikan ganti rugi lahan sebesar 218 Milyar yang dikonsinyasi di Pengadilan Negeri Bekasi. Siapapun pihak warga yang memenangkan status hukum lahan 48 hektar yang salah satu bagiannya terkena jalan tol, berhak atas uang ganti rugi itu.
Hingga di tahun 2018 terbitlah PK II MA no 815/Pdt/2018 yang memutuskan ahli waris Candu bin Godo adalah pemilik sah lahan. PK II MA butuh waktu 1 tahun untuk bertatus incracht, namun kembali lagi pihak Mabes TNI melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan pembangunan unit perumahan baru PATI di tahun 2019. PK II MA akhirnya berstatus BHT pada bulan Desember 2019.
Mabes TNI menganggap lahan Jatikarya meskipun pihaknya telah kalah di PK I, namun masih berstatus BMN yang belum dihapus oleh Kemenhan. Warga ahli waris pemenang PK II MA telah berulang kali memohon penghapusan status BMN kepada pihak Kemenhan, namun tidak dihiraukan.
Dari kronologi singkat di atas, apa yang kemudian terjadi. Efek domino apa yang kemudian muncul?
1. Mabes TNI yang menguasai secara fisik lahan tersebut masih mengklaim sebagai pengguna lahan yang sah karena status BMN yang belum dihapus oleh Kemenhan.
2. Dana ganti rugi yang dikonsinyasi PUPR di PN Bekasi hanya dapat dicairkan kepada warga dengan menyertakan surat pengantar dari Kementrian ATR/BPN.
3. Kementrian ATR/BPN tidak bisa menerbitkan surat pengantar dikarenakan masih diklaim Mabes TNI sebagai BMN yang belum dihapus oleh Kemenhan.
4. Sebelum dana ganti rugi jalan tol belum diserahkan karena terkendala buntu prosedur penerbitan surat pengantar dari BPN, maka marga ahli waris menganggap lahan tol yang sudah beroperasi masih menjadi miliknya.
5. Aksi warga menguasai jalan tol berdampak pada situasi kenyamanan pengendara yang terganggu perjalanannya.
6. Pengendara kendaraan yang merasa telah membayar biaya masuk tol bisa menuntut pengelola tol terkait pemblokiran jalan yang dilewatinya.
7. Pihak pengelola tol mempertanyakan persoalan pembangunan kepada PUPR. Jalan tol yang telah resmi beroperasi ternyata berstatus hukum masih milik warga.
Penegakan status hukum lahan Jatikarya serupa duri dalam daging. Luka selebar duri yang berlangsung 22 tahun tidak terobati sudah berubah menjadi koreng, bisul dan infeksi tetanus yang bisa mematikan organ tubuh.
Efek domino luka yang sudah membusuk menyebar lintas institusi. Masing-masing institusi bersikukuh dengan argumentasi kewenangannya. Menkopolhukam sebagai institusi negara yang mengkoordinasi persoalan politik, hukum, dan keamanan menjadi satu-satunya pihak diharapkan bisa mengurai kebuntuan.
Jika pada akhirnya Menkopolhukam tidak juga bisa mengurai sengkarut lahan Jatikarya, maka warga ahli waris Jatikarya sedang berhadapan dengan kekuatan pelanggaran hukum yang dahsyat, di atas negara hukum.
Rakyat yang diwajibkan taat hukum justru sedang menjadi korban pihak-pihak yang menguasai hukum itu sendiri. Menjadi catatan hitam yang menjadikan masyarakat tidak lagi percaya kepada hukum di negeri yang berdiri berlandaskan hukum.
Jika memang warga masyarakat bersalah masih ada Tuhan sebagai Maha Pengampun. Namun jika masyarakat benar sedang ter-dzolimi, Tuhan juga Maha Pemaaf bagi negeri ini.
***
Dahono Prasetyo – Pemerhati Sosial dan Kemanusiaan