Bambang Suryatama : Seruduk Banteng Ala GPM, Revolusi Belum Usai

Wawancara Khusus

banner iklan 468x60

Rakernas Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) berakhir di Semarang Jumat 11 November 2022. Melahirkan sejumlah keputusan penting salah satunya susunan kepengurusan Caretaker dengan menampilkan sosok Politisi PDI-P, Emir Moeis sebagai Ketua Umum.

Tim redaksi Suluhnusantaranews berhasil mewawancarai dr Bambang Suryatama, mantan Pengurus Harian DPD GPM Jawa Tengah pimpinan Rachmawati Soekarnoputri di salah satu cafe bilangan Jakarta Selatan. Analisa dan prediksi untuk GPM, baik kubu Konggres Bali maupun kubu Rakernas Semarang menarik untuk disimak:

“GPM yang dulu pernah dipimpin oleh Almarhumah Mbak Rachmawati secara de facto telah terpecah menjadi 2 kubu. Bagaimana tanggapannya, Bung?”

“Ya, kedua kubu pada prinsipnya sebenarnya sama saja dalam prespektif kepentingan politik, bukan kepentingan organisasi. Sama-sama merapat ke gerbong kekuasaan. Bedanya kubu Konggres lebih pragmatis transaksional, sedangkan kubu Rakernas cenderung struktural”

“Oke, maksudnya GPM kubu Konggres lebih berwarna bukan merah lagi, sedangkan kubu Rakernas secara tidak langsung berada di bawah organisasi sayap PDI-P dengan Emir Moeis menjadi Ketua Umumnya?”

“Keduanya dulu sama satu gerbong saat merebut dari kepemimpinan Rachmawati untuk kepentingan Capres Jokowi-Amin 2019. Pada saat itu Rahmawati ada di gerbong Capres Prabowo-Hatta. Upaya merapat ke PDI-P sudah pasti mendapat penolakan karena kita tahu Megawati dan Rachmawati itu berbeda memahami ideologi Marhaenisme warisan Bung Karno. PDI-P dan GPM Rachmawati tidak pernah bisa bersatu. Celakanya GPM yang dideklarasikan kebangkitannya 2018 justru tidak memahami gejolak internal tersebut”

“Maksudnya GPM hasil deklarasi kebangkitan memaksakan diri merapat ke PDI-P di saat belum sepenuhnya dilepas oleh Rachmawati?”

“Betul, ini sebenarnya yang menjadi awal perpecahannya. Para elite PDIP yang diminta dukungannya untuk GPM sudah pasti mendapat instruksi dari Megawati untuk mengabaikan, karena dipikirnya masih beraroma Rachmawati”

“Sepertinya anda paham seluk beluk GPM sebelum terjadi perpecahan”

“Gimana nggak paham, lha saya itu salah satu yang mengantarkan mereka ke kediaman Rachmawati saat meminta ijin mendeklarasikan kebangkitan GPM yang mati suri sejak 1998. Apa yang kemudian terjadi? Setelah ditolak PDI-P, Ketum GPM Caretaker Heri Satmoko saat itu langsung memutar haluan, merapat ke tokoh dan kader Golkar untuk meminta dukungan melaksanakan Konggres Kebangkitan. Para politisi predator dari Beringin siap mendukung dengan syarat Rachmawati tetap dipertahankan di dalam kepengurusan. Hal tersebut melahirkan keretakan internal, GPM Heri Satmoko (HS) dengan GPM kubu Dewan Pembina.

“Pecah internal kubu Ketum Heri Satmoko yang berniat ngamen dengan tetap menggunakan nama besar Rachmawati dan kubu Dewan Pembina yang ingin merapat ke PDI-P dengan meninggalkan Rachmawati?”

“Betul. Sama dengan prediksi saya dari awal. GPM dibangkitkan untuk kepentingan merapat ke penguasa. Menjadi terbelah karena berbeda strateginya. Meninggalnya mbak Rachma menjadi pukulan mendalam bagi GPM Heri Satmoko. Mereka semakin berambisi melaksanakan Konggres atas dukungan logistik siapapun tanpa melalui Rakernas. Anda Googling saja, sebelum Konggres di Bali, GPM HS minta restu kemana saja, salah satunya ke petinggi Golkar Bambang Soesatyo. Konggres terjadi di Bali menghasilkan deklarasi dukungan La Nyalla Mattalitti sebagai Capres 2024. Itu sudah pasti tidak gratisan, kan?”

“Sepak terjang GPM Ketum HS sepertinya sampai ke telinga petinggi PDI-P. Apa yang terjadi selanjutnya?”

“Itu pasti, GPM kubu Dewan Pembina tetap melakukan koordinasi internal dengan para loyalis GPM yang masih bertahan. Menghidupkan kembali DPD dan DPC melalui tahapan Rakernas sesuai arahan Rachmawati terdahulu. Mereka kemudian menyampaikan fakta-fakta ke petinggi PDI-P, termasuk yang terakhir GPM HS membuka kantor sekretariatan di sebelah kantor DPP Golkar. Akumulasi sepak terjang GPM HS akhirnya menarik perhatian Megawati. Kubu GPM Dewan Pembina didukung untuk menandingi GPM HS yang sudah berwarna kuning. Maka terjadilah Rakernas GPM kemarin”

“PDI-P boleh dikata sedang menyelamatkan ormas GPM agar tidak jatuh ke tangan Golkar dengan cara mendukung salah satu kubu?”

“Itulah realita politik yang terjadi. GPM berada dalam pilihan 2 kekuatan, PDI-P atau Golkar. Tapi kalau saya pribadi lebih baik ke PDI-P yang secara basis akar rumput masih sewarna. Kalau jatuh ke tangan Golkar ya selamanya akan menjadi tunggangan politik partai”

“Kabarnya kedua kubu sedang berebut legalitas di Kemenkumham?”

“Itu hanya urusan administratif, mereka bisa menyelesaikan dengan politis juga. Menteri Hukum dan HAM kader PDI-P juga sudah paham kemana endingnya”

“Yang terakhir, bung. Apa saran untuk GPM yang kini sedang jadi dua warna? Rekonsiliasi atau Revolusi?”

“Perlawanan dari kubu GPM HS dan gerbong di belakangnya pasti terjadi. Pilihannya ya Revolusi saja. Saran saya setelah sukses Rakernas kemarin, GPM Emir Moeis sudah menang selangkah dari GPM HS. Kalau sampai terpancing merespon reaksi perlawanan, berarti mundur selangkah lagi. Jangan hiraukan, seruduk lurus ke depan saja, itulah Banteng Revolusioner”
***
Tim Redaksi-SN

banner 120x600

Tinggalkan Balasan