Pertaruhan ATR/BPN Dalam Kegiatan Pengadaan Tanah Jalan Tol Cimaci Ruas Jatikarya

Kajian Hukum

banner iklan 468x60

Membangun Infrastruktur dengan tujuan  meningkatkan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia, adalah komitmen Presiden Jokowi untuk membawa Indonesia pada level lebih tinggi. Pemerataan pembangunan harus dimulai dengan tersedianya banyak infrastruktur dasar. Kegiatan pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional menjadi hal rutin, berlangsung seantaro negeri.

Kementerian ATR/BPN diberi amanat oleh undang-undang dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Kegiatan Pengadaan Tanah. Undang Undang No 2 Tahun 2012, dan aturan pelaksanaannya, PP 19 Tahun 2021 dan PERMEN ATR/BPN 19 Tahun 2021adalah Dasar Hukumnya. Aturan Perundangan  lain wajib dikesampingkan ketika beririsan dengan UU No 2/2012 lex specialis derogates lex generalis.

Dari serangkaian kegiatan Pengadaan Tanah yang berjalan mulus, ada sedikit ganjalan. Pelaksanaan Kegiatan pengadaan Tanah Jalan Tol Cimanggis Cibitung (Cimaci) ruas Jatikarya yang masih menyisakan persoalan. Tanah seluas 4,2 ha milik warga masyarakat Jatikarya (Candu bin Godo, dkk) belum dibayar ganti rugi, walau sudah terdapat putusan inkrah PK II No. 815 PK/Pdt/2018 tanggal 19 Desember 2019.

Uang ganti rugi yang  telah dititipkan (dikonsinyasi) di Pengadilan Negeri Bekasi sejak tahun 2017, tak kunjung diserahkankan kepada yang berhak, karena BELUM diterbitkan SURAT PENGANTAR oleh BPN Bekasi Kota.

Baca juga :   22 Tahun Konflik Lahan Jatikarya, Duri Dalam Daging Penegakan Hukum Perdata Di Indonesia

Sesuai aturan Perundangan, uang ganti rugi dapat diambil oleh yang berhak setelah adanya putusan berkekuatan tetap dengan Surat Pengantar dari Ketua pelaksana pengadaan tanah, dalam hal ini dari Kepala Kantor BPN  Bekasi Kota.

Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari masih adanya perkara hukum baru hingga alasan SHP 1/Jatikarya (objek perkara) masih berstatus Barang Milik Negara (BMN).

Berdasarkan  Undang Undang Pengadaan Tanah, perkara hukum baru (diluar penetapan konsinyasi) tidak dapat dikaitkan apalagi  menghambat pembayaran uang ganti rugi kepada yang berhak. Ada 4 perkara baru yang terdaftar di Pengadilan, namun sudah berakhir, Warga masyarakat tetap sebagai  pemilik tanah yang sah. BPN Kantah Bekasi pun sudah membuat rekomendasi ke Kanwil Jabar, menegaskan sudah tidak ada permasalahan hukum lainnya. Bahwa sebagai bukti putusan Pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap, BPN telah ditegur (aanmaning) oleh Pengadilan Negeri Bekasi sebanyak dua (2) kali pada Juni 2021 lalu untuk memenuhi kewajiban hukumnya, tetapi BPN tidak pernah hadir. BPN cenderung  meremehkan institusi Pengadilan(?)

Alasan lain, objek perkara masih aset BMN.  BPN  beralibi perlu penghapusan aset BMN terlebih dahulu. Dasar hukumnya, BPN mengacu kepada UU Perbendaharan Negara, UU  No 1 Tahun 2004, PP 27 Tahun 2014 , Permenkeu 83/PMK No 06/2016 dan PERMEN ATR/BPN No 21/2020

ATR/BPN barangkali lupa, dalam UU No 2 tahun 2011 juga telah diatur mekanisme penghapusan ASET BMN melalui mekanisme ALIH STATUS PENGGUNAAN. Dari Pengguna barang lama kepada Pengguna barang baru ( pasal 41 PP 19/21), lalu aset BMN dihapus. Dalam kasus pengadaan tanah jalan Tol jatikarya, hal tersebut tidak dilakukan. Bahkan DIPILIH UNTUK DIKONSINYASI. Ada keganjilan, objek diakui sebagai aset BMN, namun tidak dilakukan Alih Status Penggunaan, malah dikonsinyasi, hal yang DILARANG oleh Pasal 46 (2) UU No 2/2012. Jika aset BMN tidak dibenarkan dikonsinyasi. Itu lah awal carut marut persoalan. Mengapa demikian? Hanya BPN yang dapat menjawab.

Baca juga : Penutupan Jalan Tol Jatikarya Tidak Melanggar Hukum, Warga Melakukannya Di Lahan Mereka Sendiri

Pelaksanaan Konsinyasi adalah benar berdasarkan UU No 2/2012,  klaim aset BMN yang bermasalah. Tanpa konsinyasi dipastikan Jalan Tol Cimaci ruas Jatikarya tidak akan terbangun, karena proses pembangunan pasti terhambat pembebasan tanah.

Klaim BMN, adalah tak beralasan hukum, dari fakta persidangan terungkap, objek perkara SHP 1/Jatikarya adalah “aspal”.  Dalam amar putusannya Mahkamah Agung telah menyatakan surat surat SHP 1/Jatikarya tidak mempunyai kekuatan hukum. Alas hak SHP 1/Jatikarya yang terbit tahun 1992, baru didapat pada tahun 1999. Pencatatan BMN bermasalah, karena atas SHP  “aspal” tersebut,  telah diletakkan sita jaminan pada tahun 2000, jauh sebelum UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan negara lahir. Namun oleh pihak pengguna barang tetap diklaim sebagai aset BMN.

UU Perbendaharaan Negara baru lahir 2004 dan tidak berlaku surut. Klaim BMN adalah klaim sepihak, dan merupakan perbuatan melawan hukum.

Anehnya, walau mengakui objek perkara BMN, BPN tidak kunjung merekomendasikan Alih Status Penggunaan untuk menghapus asset BMN. BPN besikukuh perlu menghapus aset 4,2 ha yang terkena jalan Tol. Tapi tidak menyarankan  penghapusan melalui alih status, sebagaimana diatur oleh UU No 2/2012.

Penghapusan aset BMN melalui cara lain tidak dikenal dalam Kegiatan Pengadaan Tanah.  Lantas penghapusan aset macam apa yang diharapkan oleh BPN? Dan aturan hukum mana yang akan dipakai?

 Baca juga : Dugaan Praktik Kolusi Dana Konsinyasi 218 Milyar Di Bank BTN

Dilaksanakan atau tidak penghapusan Aset BMN, menurut pasal 43 dan 47 UU No 2/2012 aset 4,2 ha sudah HAPUS DAN LEPAS DEMI HUKUM dari pihak manapun. BPN tidak mengacu aturan UU No 2/2012 kalau masih mensyaratkan Penghapusan aset seperti diatur UU No 1 Tahun 2004, PP 27/ 2014, Permenkeu 83/2016, PERMEN 21/20, yang secara eksplisit SUDAH DIKESAMPINGKAN oleh Pasal 8 pasal 45 (2) UU No 2/2012 (lex specialis). Hanya UU 2/2012 yang berlaku dalam Kegiatan pengadaan tanah, pasal 56 UU No 2/2012 menyatakan setiap orang wajib mematuhi aturan hukum tersebut.

Pertanyaannya  sekarang dimana posisi BPN? Masihkah menggunakan UU No 2/2012 sebagai pijakan pengadaan tanah?

Agar selaras dengan UU No 2/2012 yang mengikat semua pihak, seharusnya  penghapusan aset BMN, dilakukan melalui  ALIH STATUS PENGGUNAAN, bukan menggunakan aturan Perundangan lain. Dengan mengacu aturan lain, Kegiatan Pengadaan Tanah cacat hukum. Tanpa payung hukum UU No 2/2012, Kegiatan Pengadaan Tanah adalah perbuatan merampas tanah warga secara semena-mena, berpotensi melanggar HAM. Tanpa payung  hukum aturan UU No 2/2012 yang mengikat warga untuk tunduk dan patuh, kedudukan jalan Tol sangat beresiko. Sewaktu waktu warga dapat  menduduki dan menguasai tanah mereka kembali, dan jalan Tol akan menjadi investasi triliunan yang sia-sia? Seluruh maladministrasi dan kegagalan pengadaan tanah menjadi tanggung jawab BPN sepenuhnya. Aparat keamanan wajib melindungi, dan mengayomi warga dari perampasan tanah mereka secara semena-mena.

Sebagai catatan akhir, setiap pejabat di negeri ini diangkat dengan sumpah untuk melaksanakan konstitusi dan Undang Undang serta menghormati hukum. Sekarang berpulang kepada BPN, apakah mau melaksanakan Undang Undang atau Pengadaan Tanah Tol Cimaci, ruas Jatikarya dianggap tidak pernah ada, dan jalan Tol akan secara otomatis tertutup karena tidak ada lagi aturan hukum UU No 2/2012 yang  mengikat warga masyarakat.   Kepentingan umum-lah yang menjadi taruhannya.
***
Penulis : Justian Styawan (Pemerhati Hukum)

banner 120x600

Tinggalkan Balasan