Kabar dualisme kepengurusan dalam ormas Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) sudah sejak lama tersiar. Jum’at, 11 November 2022 kabar tersebut semakin jelas dengan terselenggaranya Rakernas GPM dari kubu yang menolak GPM hasil Konggres Bali bulan November 2021 lalu.
GPM terbelah menjadi dua kepengurusan, kubu Konggres dan Rakernas. Keduanya memiliki susunan kepengurusan tingkat DPP, DPD dan DPC di seluruh wilayah Indonesia.
Berbagai komentar muncul, salah satunya dari Simon Robinson Purba, selaku eksponen Marhaenis sekaligus Ketua Dewan Pembina ormas Pejuang Marhaenis Nusantara (PMN). Reporter suluhnusantaranews.com mewawancarainya dalam kesempatan pertemuan di Semarang selepas acara Rakernas yang dihadirinya dalam kapasitas sebagai tamu undangan.
“Sebagai kader Marhaenis, bagaimana anda melihat fenomena ini, bung? GPM yang tertidur panjang sejak 1998 kemudian dibangkitkan lagi pada tahun 2018, tetapi terpecah 2 kubu di tahun 2022”
“GPM ibarat plang papan nama lama yang sedang dicat ulang. GPM sekarang sedang bersolek untuk kepentingan politik”
“Sebagai wadah perjuangan berbasis ideologi, tentunya organisasi itu penting sebagai perwujudan eksistensi. Anda menyatakan GPM sekarang baru sebatas papan nama. Dimanakah roh ideologi Marhaenis sebenarnya berada?”
“Bagi saya perjuangan ideologi tidak selalu terpaku pada nama. Banyak kawan-kawan Nasionalis-Marhaenis yang tetap hidup, bergerak dan berbuat tanpa harus bergantung pada organisasi. Ingat kata-kata Bung Karno : Warisi apinya, bukan abunya. Setelah organisasi terbentuk mereka akan berkata : Ini lho kita punya GPM, mari bergabung bersama kami. Api Marhaenisme yang harus diwarisi, bukan abu GPM-nya”
“Salah satu cara mewarisi api Marhaenisme dengan cara menghidupkan kembali GPM. Barangkali itu yang terjadi?”
“Kalau benar itu tujuannya GPM tidak akan terpecah. Yang sekarang terjadi adalah berebut abu GPM, dan abai akan api Marhaenisme yang seharusnya dijaga. Apa yang diperebutkan mati-matian hanya papan nama GPM. Daripada berebut nama, mengapa tidak membuat nama baru saja? Api Marhaenisme tidak melulu muncul di GPM saja. Kalau namanya berebut, pasti ada kepentingan pragmatis yang diperjuangkan, dan itu semakin menjauh dari mewarisi apinya”
“Anda melihat gerbong 2 GPM ini seberapa besar massa pendukungnya? Karena yang masyarakat lihat ada dua kekuatan politik besar berada di masing-masing kubu”
“Berbicara tentang massa pendukung dalam konteks ideologis. tidak sebatas bicara angka-angka, tetapi, lebih dari itu wajib menyentuh pemahaman. Artinya, menyangkut Kualitas”. Setelah sekian lama, terkait pula dengan transformasi kelompok usia. Mungkin perlu waktu untuk memprediksinya. Rekruitmen di GPM saat ini baru sebatas persyaratan administratif, siapa yang mau ikut diberikan SK kepengurusan. Yang penting dapat nama KSB (Ketua, Sekretaris, Bendahara) cukup jadi landasan awal GPM ada di setiap daerah, tapi tidak selalu mewakili populasi di tiap daerah. Pola rekrutmen tidak berdasarkan rasa empati perjuangan”
“Apakah itu terjadi pada kedua kubu?”
“Begini, motivasi berorganisasi kalau sudah diawali kepentingan politik, yang terpenting adalah papan nama di tiap daerah. Mau mengumpulkan massa berapa banyak tinggal berapa besar kemampuan kepentingan politik mampu membayarnya. Itu terjadi tidak hanya di GPM, tapi hampir di semua ormas”
“Yang terakhir, bung. Nasionalisme kita sedang menghadapi serbuan isme-isme dari luar. Sampai kapan bisa bertahan?’
“Republik ini akan baik-baik saja saat kita sama-sama menyadari bahwa ketika Nasionalisme hilang, maka kita layaknya tinggal di rumah kontrakan. Bagaimana bisa berdaulat kalau Nasionalisme sudah tergadaikan. Apa enaknya kemerdekaan tanpa kedaulatan? Itu saja”
Merdeka..!!
***
Redaksi Suluhnusantaranews @Nov2022