Sengkuni itu bernama Amerika lewat salah satu otak kirinya bertajuk Freeport. Bukan raksasa tinggi besar buas yang sering ditakutkan anak anak.
Pandhawa sedang diadu domba dengan Punakawan. Lakon Petruk dadi Ratu ternyata salah casting. Semar sang Resi menyamar jadi Petruk. Lugu di depan bijak di belakang. Tiap senyumnya menyimpan strategi. Semakin banyak senyum, makin tak terduga.
Politik Sengkuni yang terbukti ampuh mencerai berai negeri Alengka Timur Tengah yang sekarang sedang try out di negeri kita. Tapi Semar memang bukan Petruk. Dia tetap mengasihi para Pandawa karena tak lain adalah muhrimnya.
Lantas kemanakah para Kurawa? Mereka sedang jadi penonton, bersorak bingar, sesekali nyeletuk tak jelas nada tujuannya. Berharap Sengkuni sukses memberaikan Astina lantas menguras habis isi bumi, menjadikan rakyat sebagai budak di negeri sendiri.
Dan Petruk adalah Semar dengan senjata mesemnya , berupaya menyadarkan para Pandhawa bahwa dengan cintalah, Sengkuni akan tunduk. Bukan dengan Ideologi ataupun Agama.
Dalam Politik tak pernah ada cinta. Namun dengan adanya cinta, manusia akan capek berseteru. Bahwa akhirnya kita menyadari sedang diadu domba, itu lebih penting daripada berebut periuk nasi. Tak lebih penting pula tulisan ini dibanding orasi pakar analisa yang bertebaran nge-rapp di seputar kita.
Sekedar membuang sebagian isi kepala pada tempatnya, agar ada ruang kosong siap diisi hal baru yang lebih cetar membahana
—
Depok 24/11/22