Ormas kepemudaan berasas Nasionalis tidak pernah luput dari upaya penggembosan. Ormas Kepemudaan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang didirikan semasa kepemimpinan Presiden Soekarno pada perjalanan eksistensinya mengalami pasang surut. Upaya memecah menjadi beberapa kubu sangat gencar dilakukan semasa Orde Baru.
Kini pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, GMNI yang telah melahirkan banyak tokoh Nasionalis kembali terpecah menjadi 2 kubu.
Bentrokan 2 kubu pada acara Rapimnas GMNI pada Rabu (23/11/2022) di Kaliurang Yogyakarta membuktikan perpecahan sudah cenderung arogan. Pecah kubu yang sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya kembali terjadi. Salah satu kubu menginginkan diadakan Konggres Persatuan, sedangkan kubu lain berusaha mempertahankan klaim status kepengurusan lama.
Sudah menjadi rahasia umum, GMNI pecah menjadi 2 kubu yang berbeda warna. GMNI kuning (Golkar) dan GMNI merah (PDIP). Keduanya punya kekuatan dukungan yang berimbang, kubu kuning dengan loyalitas sebagai mesin politik sedangkan kubu merah dengan militansi ideologinya.
Publik melihat ada pertarungan kepentingan politik besar dalam organisasi kepemudaan tertua. Kader-kader nasionalis marhaenis dalam GMNI yang notabene para Mahasiswa yang seharusnya merdeka berorganisasi, dipasung oleh tangan-tangan kekuasaan. Bukan dengan cara membatasi pergerakan, tetapi mengendalikan melalui proxy-proxy yang ditanam pada struktur kepengurusan.
Senada dengan GMNI, terjadi pula di Ormas Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM). Dualisme kepengurusan kubu GPM kuning dengan GPM merah membuat organisasi berasas Marhaenisme tersebut sibuk saling klaim kebenaran. Masing-masing kubu mengaku sebagai kepengurusan yang sah dengan nama, logo dan ideologi yang sama.
GMNI dan GPM terpecah menjadi dua kubu, bagi yang paham cara membedakan warnanya sebenarnya cukup mudah. Jangan melihat latar belakang orang-orang yang duduk di kepengurusan saat ini, tapi lihatlah asal mereka sebelumnya plus kecenderungan argumentasinya.
Jika hanya sebatas pengagum Soekarno bapak Marhaenisme, tetapi berpola pikir pragmatis, dipastikan mereka gerombolan Marhaenis Gadungan. Modus pragmatis tidak pernah jauh dari lingkaran para kapitalis yang menunggangi setiap lini organisasi. Mereka yang selalu memperkuat oligarki dengan cara melahirkan bibit oligarki baru.
Etos gotong royong dalam idiom marhaenis tinggal menjadi bahasa bibir. Gotong royong hanya berlaku pada saat beraktifitas, namun urusan kesejahteraan sulit untuk berbagi royong.
Kemudian muncul pertanyaan kecil yang cukup memprihatinkan : Setelah GMNI dan GPM, ormas atau organisasi Nasionalis mana lagi yang akan pecah atau dipecah? Semoga PDIP bukan menjadi yang selanjutnya.
Begitu hebatnya kebesaran kaum Nasionalis, hingga tidak merasa punya lawan sepadan. Justru kesombongan tipis itu yang membuat mereka menjadi saling ribut sendiri, bertengkar sendiri dan mudah diadu domba.
Mengutip kata-kata Bung Karno : “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” (note : juga saudara seideologimu sendiri)
***
Catatan Retrospeksi – Dahono Prasetyo