Apa yang menyebabkan negara kita pantas dijuluki sebagai bangsa maritim, itu terpampang dengan sangat jelas. Ada fakta bicara bahwa wilayah dalam rupa perairan ternyata memang lebih luas dibanding dengan luas daratannya.
Indonesia memiliki sekitar 17.499 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Dan itu menjadikan negeri ini mendapat julukan sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Kemudian ketika kita bicara berapa total luas wilayah Indonesia, disana ada data bicara yakni sekitar 5,18 juta km2. Itu luas banget dan membuat kita menjadi negara terluas nomor 14 di dunia.
Dan ketika kita bagi antara luas daratan dan luas lautan, dari total luas wilayah tersebut, 3,26 juta km2 adalah lautan dan 1,92 adalah berupa daratan.
Bukan cuma itu, kita masih punya wilayah lautan sebagai hak berdaulat atau lebih dikenal dengan ZEE, itu konon seluas 2,55 juta km2.
Bila semua kita gabung, ternyata luas daratan kita benar – benar tak sampai 26% nya saja. Artinya, lebih dari 70 persen luas wilayah kita adalah laut.
Maka, ketika pada suatu saat dulu bangsa ini pernah dikenal dengan pelautnya yang unggul, pasti itu ada keterkaitan karena laut adalah halaman kita. Bahwa sekarang julukan itu seperti sirna, bagi yang senang sejarah tahu kenapa itu bisa terjadi.
Dan dalam banyak pelajaran sekolah, memang ada fakta bahwa kita seolah lebih nyaman disebut sebagai bangsa agraris, bangsa yang lebih mengandalkan hasil olah tanah dibanding dengan laut.
Ya, dalam faktual geografis, kita tak bisa lari dari julukan sebagai negara maritim namun masih jauh untuk dapat disebut sebagai bangsa maritim.
Bila ya, meski terlalu berlebihan dan lebih beraroma lebay, kita terlihat pernah dan kembali sedang ingin beranjak menuju ke sana.
Paling tidak, saat awal pemerintahan Jokowi, laut pernah sempat dilihat dan digarap. Itu terlihat dan sempat terjadi pada periode pertama pak Jokowi.
Gegap gempita kita pernah menjadi, dan kata “tenggelamkan” adalah bukti kita hadir di laut. Kata itu pun pernah sempat membuat kita merasa sedikit jumawa di tempat dimana kita justru terkesan inferior.
“Kenapa itu seperti tak dilanjutkan?”
Bangsa besar dan kuat pasti memiliki angkatan laut hebat. Pepatah bahwa siapa menguasai laut maka dia akan menguasai dunia bukan katanya – katanya.
Ga percaya? Lihat saja Inggris, negara itu secara geografis terletak di bumi sangat utara tapi kekuasaannya menjangkau bahkan hingga bumi paling selatan.
Pada dunia modern saat ini, di manakah dasar lautan paling terpencil di dunia tak hadir kapal selam AS? China telah mulai menyusul dalam petualangan ini.
Laut adalah tentang jumlah kekayaan alam yang tak akan pernah tertandingi selamanya. Selain itu, laut pun adalah tentang perdagangan. Fakta bicara bahwa 90% perdagangan dunia adalah melalui laut.
Arti penting laut bagi perluasan pengaruh dari sebuah negara kini semakin nyata dan mendesak. Lihat saja sengketa di Laut China Selatan, hampir seluruh kekuatan dunia seperti sengaja dihadirkan di sana.
Ya, laut adalah jembatan bagi perluasan pengaruh sebuah negara baik itu secara politik, militer maupun ekonomi. Inilah yang membuat laut diperebutkan seperti contoh yang terjadi di LCS.
Bagi kita, bagi angkatan laut kita, bisa jadi meski hanya untuk ikut bersaing dengan mereka para penguasa laut dunia, sepertinya masih akan butuh waktu panjang.
Kita masih belum selesai dengan urusan paradigma laut dan darat dan maka kita bukan bagian dari cerita itu meski sebenarnya itu justru adalah ruang lingkup kita sebagai NEGARA maritim.
Paradigma bahwa kita adalah BANGSA maritim perlu lebih dahulu hidup dan menjadi kebenaran sebelum hasrat terlalu besar itu justru menenggelamkan kita sendiri.
Kita bisa mulai dengan kembali menengok laut. Ga usah nyemplung di tempat jauh dan terlalu dalam, cukup di halaman kita, di tempat kita seharusnya bermain dan bercanda dengan riang.
Kita mulai saja dengan hal sederhana, hal paling awal yaitu mengamankan wilayah milik kita sendiri. Dan itu bicara tentang bagaimana menempatkan aparat keamanan kita pada banyak tempat terpencil.
Karena lebih dari 70% wilayah kita adalah air, hal paling masuk akal, hadirkan TNI kita yang tahu dan kenal baik dengan air, TNI Angkatan Laut. Itu konsekuensi logis sebagai negara maritim.
Apakah penunjukan Panglima TNI yang baru dari matra laut sebagai pengganti Jenderal Andika Perkasa dapat dimaknai sebagai jawaban atas kebutuhan itu, bisa ya bisa tidak.
Terlepas ini adalah seperti rotasi biasa dalam kepemimpinan TNI, namun ada baiknya kita berpikir positif saja bahwa Presiden pernah memulai dengan awal mendekat pada laut dan mendekati akhir jabatan di periode keduanya pun beliau ingin kembali mencari laut.
Baru – baru ini Presiden Joko Widodo secara resmi mengajukan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono sebagai calon panglima TNI.
Bila kelak beliau dilantik, Laksamana Yudo adalah Panglima TNI pertama dari matra laut pada pemerintahan Jokowi sejak 2014 saat beliau menjabat Presiden. Namun dia bukan sosok pertama dari angkatan laut yang pernah menjadi Panglima TNI.
Dua nama laksamana dengan empat bintang di pundaknya itu adalah Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto dan Laksamana TNI Agus Suhartono.
Widodo Adi Sutjipto menjabat sebagai Panglima TNI sejak 26 Oktober 1999 hingga 7 Juni 2002 di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Laksamana Agus Suhartono di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Apakah beliau sosok yang mumpuni?”
Bila Natuna dalam keterkaitannya dengan klaim China atas LCS dimana saat ini menjadi perhatian dunia dan maka juga menjadi concern kita, saat beliau menjabat sebagai Pangkogabwilhan I, Yudo terlibat langsung dengan peristiwa ketegangan itu.
Pada 2020 saat kapal-kapal nelayan China melakukan pelanggaran karena memasuki wilayah Natuna, beliau hadir dan memimpin.
Tanpa harus menjadi insiden internasional, atas perintahnya, TNI akhirnya mampu melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal China yang memasuki wilayah perairan ZEE Indonesia.
Pun saat di saat awal Covid-19 mulai melanda negeri ini, dia terlibat aktif dalam penanganan COVID-19 yang melanda Indonesia pada Maret 2020.
Itu terjadi saat pemulangan warga negara Indonesia (WNI) dari China ke Tanah Air dan pembangunan rumah sakit darurat untuk pasien COVID-19 di Pulau Galang dan Wisma Atlet.
Seharusnya beliau adalah sosok yang benar di waktu yang tepat. Meski sangat mungkin beliau kelak hanya menjabat tak lebih dari satu tahun karena November 2023 umurnya sudah mencapai 58 tahun, itu tentu tak harus mengurangi makna bahwa budaya laut pantas kembali kita mulai.
Paling tidak ketika dalam ranah merubah paradigma kita selama ini tentang makna negara maritim dan maka butuh hadirnya bangsa bermental maritim, itu sudah lebih dari cukup.
Meski terkesan hanya sesaat, kita seperti diajak untuk kembali menoleh pada halaman luas rumah kita dimana nenek moyang kita pernah berjaya pada suatu saat dulu.
Laut adalah masa depan kita. Laut juga sekaligus tentang kebesaran bangsa ini seharusnya kelak. Dan ketika sejarah pun bersaksi bahwa siapa menguasai laut dia akan menguasai dunia, tak pantaskah kisah itu kita perjuangkan?
Seharusnya itu tentang kita, negara maritim dengan anak bangsanya yang berjiwa maritim.
RAHAYU
Karto Bugel