Bupati Tidak Paham UU Tuntut Keadilan Dana Bagi Hasil?

Opini Agung Wibawanto

banner iklan 468x60

UUD 1945 Pasal 33 (3) berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
———————————-

Muhammad Adil, Bupati kepulauan Meranti, Riau, mendadak viral setelah melontarkan kata-kata pedas kepada kementerian keuangan terkait DBH. Adil mengatakan bahwa Kemenkeu berisi iblis atau setan semua. Tidak hanya itu, Adil juga “mengancam” agar Meranti dikasihkan saja kepada negara tetangga, Malaysia, hingga jika perlu angkat senjata.

Hal ini menurutnya jika pemerintah pusat tidak ingin memperhatikan nasib mereka. Tidak hanya itu, Adil juga mengancam agar di daerahnya tidak ada lagi aktivitas eksploitasi sumur migas. Melarang pemerintah Pusat untuk meneruskan proyek pembuatan sumur baru. Dia juga tidak ragu akan menggugat presiden Jokowi jika tidak mengindahkannya.

Gaya koboi bupati yang satu ini ternyata tidak hanya sekali saja yang menimbulkan kontroversi. Adil pernah melaporkan sebuah akun yang mengritik dirinya, juga sempat memolisikan bupati terdahulu. Adil juga melakukan penolakan atas kunjungan Gubernur Riau di dua kecamatan di wilayahnya. Perseteruannya dengan Gubernur Riau sepertinya sudah terjadi lama.

Alasan Adil lebih kepada Bantuan Anggaran Propinsi yang dianggapnya tidak merata. Untuk itu Adil juga berani membangkang perintah undangan Gubernur pada acara Rapat Koordinasi bupati/walikota se Propinsi Riau. Padahal acara tersebut dihadiri Gubernur Riau dan Mendagri Tito Karnavian. Bahkan Adil melarang Camat dan Kepala Desa se Kabupaten Meranti untuk datang ke acara tersebut.

Mendagri Tito sudah mengutus Irjen dan Dirjen nya untuk menyelidikan lebih jauh mengapa ada “pembangkangan” seperti itu. Itu di bulan November 2022 (sebulan lalu). Ditemukan memang terjadi perselisihan paham antara Adil dengan Gubernur Riau. Kini kembali Adil berulang dengan peristiwa yang disebutkan di atas. Apa penyebabnya? Mengapa dia nekad?

Politikus asal PKB (namun diberitakan sekarang telah berpindah haluan ke PDIP) ini berargumen bahwa Meranti menjadi salah satu daerah termiskin di Indonesia, padahal hasil bumi berupa minyak melimpah. Dia mengatakan ada ketidakadilan yang dilakukan pemerintah pusat terutama Kemenkeu dalam membagi kue pembangunan.

Setelah dilacak lagi, ternyata Adil mempersoalkan harga satuan perbarel minyak yang dihasilkan dari Meranti. Harga satuan yang diberikan Kemenkeu hanya di angka 75 dollar, padahal sejak perang Rusia-Ukraina harga minyak mentah naik. Bahkan Presiden Jokowi sendiri mengatakan harga per barel mencapai 100 dollar. Itu yang dipersoalkan.

Seharusnya hal teknis administratif semacam itu bisa dibicarakan tanpa harus menggunakan “ancaman”. Terlebih dengan mengatakan “angkat senjata” dan pindah ke Malaysia. Juga melarang pemerintah mengelola hasil bumi di Meranti. Tentu sesuatu yang diluar nalar selain juga inkonstitusional. Bupati harus memahami struktur dan tupoksi sistem pemerintahan.

Otonomi daerah bukan berarti desentralisasi yang seluas-luasnya, terlebih negara kita bukan penganut sistem federasi. Bupati bukanlah penguasa daerah (raja kecil) melainkan wakil Pemerintah Pusat (eksekutif) di daerah. Untuk itu kepala daerah kabupaten harus mematuhi jenjang pemerintahan. Di atas bupati masih ada Gubernur. Sedang Mendagri berfungsi sebagai pembina sekaligus pengawas kepala daerah.

Jika memang terdapat masalah terkait dengan Pemerintah Pusat, seperti Kemenkeu, maka bisa dibahas usulan atau laporan kepada Gubernur dan Mendagri. Perangkat Kemdagri juga ada dirjen dan Irjen dalam hal pengawasan dan pembinaan. Salurkan sesuai sistemnya. Hal lain yang lebih substansi terkait dengan pengelolaan SDA di seluruh negeri.

Seperti dikutip dalam konstitusi UUD 1945 di atas, maka negara yang diwakili oleh Pemerintah Pusat diberi tugas dan kewenangan bahkan dikatakan “dikuasai” mengelola SDA. Pemanfaatannya diperuntukan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, meski lokasi SDA berada di Meranti, namun tidak berarti semua hasilnya diperuntukan bagi masyarakat Meranti. Begitu juga yang di Papua dll.

Pembagian hasil sudah diatur pula dalam UU yang menyatakan daerah akan memperoleh 15% pembagian, sementara 85% dikelola oleh Pemerintah Pusat untuk diatur penggunaannya. Jika dipikir, maka anggaran yang dialokasikan ke Meranti bisa lebih besar dibanding daerah lain karena ada pos DBH (dana bagi hasil). Dana Desa dan bantuan anggaran dari propinsi juga tetap diberikan seperti daerah lainnya.

Dengan dana tersebut, harusnya bupati dapat mengelola dengan baik secara penggunaannya. Pendapatan sebesar apapun jika pengelolaannya tidak tepat atau tidak benar maka bisa habis begitu saja. Bahkan karena tidak terlihat bekasnya maka dianggap kecil dan selalu kurang. Penuntutan besaran pendapatan bisa saja diusulkan tapi bagaimana pula pengelolaan keuangan dengan anggaran sebesar itu? Itu jadi Pe-eR
***
Agung Wibawanto

banner 120x600

Tinggalkan Balasan